Senin, 11 Agustus 2008

EVALUASI PENDIDIKAN NILAI

PENDIDIKAN NILAI DAN EVALUASINYA

DALAM PERSPEKTIF SISDIKNAS




Ahmad Rohani HM.[1]

I

Sejak awal kemerdekaan hingga disahkannya UURI no. 20/2003 tentang Sisdiknas pendidikan nasional kita selalu ada muatan nilai-nilai, tetapi tidak pernah jelas core values[2]nya apa. Output pendidikan kita hingga sekarang tidak memiliki jati diri yang jelas. Karena, core values kita belum disepakati. Sementara, di negara-negara maju, pendidikan berbasis pada core values, di AS yang menganut kapitalisme misalnya pendidikan melayani individu[3]. Di Jepang pendidikan menekankan pada tanggung jawab. Kerja keras, jujur, bersih, dan tanggung jawab menjadi core valuesnya. Sekarang, pendidikan kita diarahkan untuk pengembangan diri peserta didik[4] agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan diri peserta didik, masyarakat, bangsa, dan negara.

Pendidikan nilai menunjuk pada pembelajaran nilai-nilai sosial, politik, agama, estetik, dan jenis nilai lainnya[5]. Bentuk-bentuk pendidikan nilai dapat berupa realisasi nilai, pendidikan kewarganegaraan, dan pendidikan moral[6], pendidikan sejarah, pendidikan agama (akhlak), pendidikan budi pekerti, pendidikan bahasa, atau yang lainnya. Pendidikan nilai yang terakomodasi Sisdiknas tersebut adalah pendidikan agama (akhlak), pendidikan kewarganegaraan, dan bahasa. Ketiganya tertulis secara eksplisit dalam pasal 37 untuk semua jenjang pendidikan. Sementara bentuk pendidikan nilai lainnya seperti pendidikan sejarah, dan pendidikan budi pekerti hanya dapat dipahami secara implisit[7]. Permasalahan pokoknya adalah terkait dengan kurikulumnya, terutama mengenai penemuan dan pengembangan nilai-nilai inti maupun nilai-nilai substansialnya, termasuk bagaimana sistem pembelajarannya, dan sistem evaluasinya. Pembahasan berikut memfokuskan pada evaluasi pendidikan nilai dalam konteks pendidikan formal.

II

Tema sentral Sisdiknas kita adalah masalah mutu pendidikan. Mutu atau kualitas sebagai kemampuan dibedakan menjadi kompetensi, akredibilitas, dan akuntabilitas. Kemampuan individual untuk tampil dalam kualitas yang dituntut, dan dinilai sebagai qualified disebut kompeten atau kapabel, dan kepadanya diberikan sertifikat. Lembaga yang perangkat-perangkatnya dinilai mampu menjamin produk yang berkualitas disebut sebagai lembaga accredited. Sedangkan lembaga yang accredited pada satu sisi dinilai kemampuannya memproduk sesuatu yang kapabel, pada sisi lain dinilai validitasnya di masyarakat tentang kemampuannya menjaga dan menjamin kualitas produk lembaganya. Lembaga yang demikian disebut sebagai akuntabel.

Dalam UURI no. 20 tersebut terdapat pasal khusus mengenai Standar nasional pendidikan (SNP) dan evaluasi pendidikan. Pasal ini berorientasi dan mengantisipasi untuk mutu pendidikan. Standar nasional pendidikan (SNP) adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia[8]. Evaluasi adalah kegiatan pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.[9] Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga, dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, atuan, dan jeniss pendidikan, oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian SNP[10]. Evaluasi dapat dilakukan oleh masyarakat atau organisasi profesi secara mandiri. Khusus evaluasi terhadap peserta didik, dilakukan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan, dengan memperhatikan prinsip-prinsip evaluasi yang seharusnya.

Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) merupakan perangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai peserta didik, penilaian, KBM, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah. KBK berorientasi pada hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna, dan keberagaman yang dapat diwujudkan sesuai dengan kebutuhannya. KBK merupakan kebijakan pendidikan nasional yang telah sedang diupayakan dalam rangka memperbaiki mutu pendidikan (formal) sekaligus mengemban misi Sisdiknas yang sedang akan diundangkan.

Salah satu komponen dalam KBK adalah Penilaian Berbasis Kelas (PBK). PBK sebagai prinsip, sasaran, dan pelaksanaan penilaian berkelanjutan yang akurat dan konsisten tentang kompetensi atau hasil belajar peserta didik serta pernyataan yang jelas mengenai kemajuan peserta didik sebagai akuntabilitas publik. PBK dilaksanakan secara terpadu dengan KBM. Ia dilaksanakan dengan cara: pengumpulan kerja peserta didik (portofolio), hasil karya (produk), penugasan (proyek), kinerja (performansi, dan tes tertulis. Guru/dosen menilai kompetensi dan hasil belajar peserta didik berdasarkan level pencapaian prestasinya. Fungsi atau kegunaan hasil PBK dapat bersifat formatif, sumatif, maupun diagnosis.

III

Dalam rangka PBK kemampuan mengevaluasi diprasyarati dengan kemampuan guru/dosen merumuskan kompetensi minimal[11] atau indikator terukur, atau indikator hasil belajar. Untuk pendidikan nilai hal ini tidak bisa dipandang enteng, karena pendidikan nilai terkait dengan sistem afektif. Sementara afek itu tidak bisa diamati secara langsung, yang dapat dipotret hanya bentuk perilaku wujud yakni perkataan maupun tindakan. Kemunculan perilaku ini menunjukkan adanya 3 kecenderungan yaitu arah afek positif (approach behavior), netral (neutral behavior), atau negatif (avoidance behavior)[12]. Selain arah, afektif (nilai) memiliki karakteristik lain yaitu intensitas (tubian), pernyataan kondisi, dan pernyataan kriteria[13].

Bahwa evaluasi atau penilaian harus diarahkan pada indikator kompetensi pencapaian hasil belajar. Indikator pencapaian hasil belajar menggambarkan sebagai hal-hal khusus yang harus dapat dilakukan oleh peserta didik sebagai hasil pembelajarannya.

Contoh:

Mata Pelajaran Agama Islam (Akhlak) di Kelas 1 Cawu 3 SLTP:

Kompetensi dasar : Terbiasa menghindari sifat-sifat tercela

Materi pokok : Penyakit hati

Indikator pencapaian hasil belajar : 1. Menunjukkan sikap menghindarkan diri dan

membenci sifat-sifat dengki.

2. menunjukkan sikap menghindarkan diri dan membenci

perilaku buruk sangka.

3. Menunjukkan sikap menghindarkan diri dan membenci

sifat-sifat khianat.

4. Menunjukkan sikap menghindarkan diri dan membenci

sifat-sifat pengecut.

Penguasaan terhadap semua indikator akan menunjukkan bahwa kompetensi itu telah dikuasai penuh secara memuaskan. Selanjutnya guru/dosen dapat menilai kompetensi peserta didik dengan cara “ya” atau ”tidak” – ketika melihat unjuk kerja yang menggambarkan bahwa yang bersangkutan telah menguasai suatu aspek kompetensi atau belum. Berdasarkan penilaian tersebut dapat ditentukan apakah yang bersangkutan telah menguasai sebagian kecil atau sebagian besar kompetensi yang ditentukan. Untuk memastikan hal ini guru / dosen dapat menggunakan penilaian kompetensi dengan “skala bertingkat”.

Di atas telah disinggung, PBK dilaksanakan secara terpadu dengan KBM yang dilaksanakan dengan cara: pengumpulan kerja peserta didik (portofolio), hasil karya (produk), penugasan (proyek), kinerja (performansi, dan tes tertulis. Penjelasannya sebagai berikut:

  1. Pengumpulan kerja peserta didik (portofolio)

Portofolio adalah koleksi karya peserta didik yang dikumpulkan dalam kurun waktu tertentu yang tujuannya beragam. Tujuannya akan menentukan apa yang harus masuk dalam portofolio itu dan siapa yang harus melakukan pemilihannya. Bukti yang terkandung dalam portofolio bisa berbentuk penilaian kertas dan pulpen, proyek, produk dan rekaman, atau catatan unjuk kerja. Karya yang dipilih bisa berbentuk karya mandiri atau karya kolaboratif. Penyekorannya menggunakan catatan perkembangan peserta didik yang dilakukan oleh guru.

  1. Hasil karya (produk)

Penilaian produk menunjuk penilaian berdasarkan hasil yang dibuat oleh peserta didik. Penilaian produk dilakukan ketika fokus utama karya peserta didik adalah proses produksi atau kualitas produk. Fase pengembangan produk melalui persiapan, produksi, dan penilaian. Penilaian produk dapat berfokus pada salah satu atau beberapa fase tersebut.

  1. Penugasan (proyek)

Penugasan atau proyek merupakan tugas yang harus dikerjakan peserta didik yang memerlukan waktu relatif lama.. Peserta didik melakukan investigasi yang melibatkan pengumpulan, pengorganisasian, evaluasi dan presentasi bahan atau data. Sebuah proyek memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengembangkan dirinya sebagai pembelajar mandiri.

  1. Kinerja (performansi)

Penilaian kinerja penilaian yang menuntut peserta didik melakukan tugas dalam bentuk perbuatan yang dapat diamati. Ini bisa dilakukan dengan perangkat audio-visual. Unjuk kerja dapat dinilai dengan angka yang menggambarkan kesan keseluruhan (holistik), atau dengan memberikan nilai kepada beberapa aspek unjuk kerja secara terpisah (analitik). Penyekorannya bisa menggunakan skala rating, atau daftar cek.

  1. Tes tertulis

Penilaian kertas-pulpen umumnya disebut dengan tes tertulis, di mana peserta didik menanggapibeberapa pertanyaan dan jawaban tertulis mereka dijadikan bukti tingkat penguasaan atau kompetensinya. Penilaian model ini bisa berbentuk memilih jawaban atau membuat jawaban sendiri (tes uraian). Untuk PBK disarankan tes uraian banyak digunakan sehingga informasi kemampuan peserta didik dalam mengorganisasikan gagasannya secara sistematis dapat diketahui. Pedoman penyekoran tes uraian sebagimana yang telah ada.

PBK dilakukan secara terus menerus dan berkala. Terus menerus artinya selama KBM berlangsung; berkala artinya setelah peserta didik mempelajari satu kompetensi standar, tiap akhir semester, dan tiap jenjang atuan pendidikan.

Untuk kepentingan pelaporan kemajuan belajar peserta didik kepada orang tua, atau kepentingan perencanaan lembaga pendidikan yang bersangkutan, guru/dosen harus membuat laporan hasil belajar berdasarkan pencapaian hasilnya. Isi pelaporan harus jelas dan komunikatif dengan menitikberatkan pada kekuatan dan kelemahan peserta didik dalam belajar. Laporan dapat berupa angka, deskripsi, atau profil peserta didik secara utuh tentang pencapaian kompetensi-kompeteni yang telah ditentukan dalam kurikulum. Model pelaporannya berupa 2 jenis: laporan prestasi tiap mata ajaran, dan laporan kemajuan belajar secara komprehensif.

Kelima cara evaluasi hasil belajar pendidikan nilai tersebut dapat dipilih mana yang tepat digunakan. Yang lebih penting diperhatikan adalah pengukuran atau penilaian karakteristik afektif (nilai) harus dapat menjelaskan ada-tidaknya karakteristik afektif (nilai) terhadap objek tertentu, beserta arah dan intensitasnya. Untuk ini kita bisa menggunakan metode skala Likert, terutama untuk evaluasi formal. Sedangkan evaluasi yang bersifat informal, kita bisa menggunakan metode: catatan anekdotal (catatan pengamatan informal yang antara lain dapat menggambarkan perkembangan sosial peserta didik), metode interviu, partisipasi peserta didik dalam diskusi, problem solving, maupun evaluasi diri

IV

Sebagai penutup, ada 2 catatan penting:

1. Evaluasi afektif (nilai) harus terpisah dari evaluasi kognitif, tetapi hasilnya dapat dilaporkan bersama-sama dengan hasil evaluasi kognitif, dan digunakan untuk membuat keputusan hal yang meragukan berdasarkan evaluasi kognitif.

2. Dalam sistem afektif, nilai terbentang dalam rentangan: konseptualisasi nilai, komitmen, preferensi sebuah nilai, akseptensi suatu nilai, kepuasan dalam respon, dan keinginan merespon[14]. Hal ini harus diperhatikan dalam evaluasi hasil belajar pendidikan nilai.



[1] Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

[2]Nilai-nilai inti dan sentral, nilai esensial, merupakan basis nilai yang mencerminkan hasil konsensus nasional. Ia: harus dimiliki oleh siapapun; sangat sulit untuk diubah oleh siapapun (nilai yang terkait dengan hidup, sementara nilai yang terkait dengan pengetahuan mudah diubah); given; universal (setidaknya pada level bangsa); sumbernya bisa agama, bisa budaya; jenis nilainya bisa maskulin atau feminin; bisa giving values atau being values.

Nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan nasional kita tidak jelas, pilahan dan pilihannya, tekanan dan tuntutannya, mana yang nilai inti, mana yang nilai-nilai medium, dan mana yang nilai-nilai periferal. Sementara posisi nilai itu untuk menggerakkan perilaku (value-driven behaviors) sebagaimana definisi nilai itu sendiri yaitu sebagai segala sesuatu yang berasal dari gagasan ke tindakan-tindakan perilaku (W. Huitt, 1999), nilai itu merupakan ideales Seinsollen, keharusan nyata yang ideal, atau kenyataan tersembunyi yang sungguh benar adanya, bukan hanya kita anggap ada (fenomenolog Max Scheler, 1966). Bagi penulis, adanya yang ideal itu harus dipahami bukan sekedar argumentatif dan pembuktian empirik rasional semata, melainkan lebih dari itu ke arah pencarian hikmah dan rahmah yang transenden.

[3] Pendidikan diarahkan pada pengembangan individu. Individu yang berkembang optimal menjadi saling menghormati dan menghargai di antara sesama.

[4] Simak Pasal 1 ayat 1 UURI no 20/2003 tentang Sisdiknas. Ini berarti filsafat pendidikan kita menganut Progresivisme, dan berkiblat pada negara-negara maju (Barat) utamanya Amerika Serikat di mana pendidikan diarahkan untuk pengembangan individu, yang core value pendidikannya melayani individu. Individu yang berkembang optimal menjadi saling menghormati dan menghargai di antara sesama.

Bandingkan dengan Perenialisme dan Esensialisme yang menekankan pendidikan sebagai pelestarian budaya, atau Strukturalisme Fungsional (paradigma sosiologis) yang menyatakan bahwa pendidikan adalah pewarisan nilai-nilai budaya. Dan ini yang selama ini kita anut.

[5] Pritz K. Oser, 1986.

[6] Kirschenbaum, 1995.

[7] Simak pasal 1 ayat 1, pasal 4, pasal 37-39 RUU Sisdiknas yang telah disetujui Dewan.

[8] Pasal 1 ayat 17.

[9] Pasal 57 ayat 1.

[10] Simak pasal 57 ayat 2 dan pasal 58 ayat2.

[11] Dalam konteks PPSI: yang dituntut adalah merumuskan tujuan pembelajaran.

[12] Lihat Lee, B.N. & Merill, M.D. (1972; 16-21) dalam Writing Complete Affective Objectives.

[13] Anderson, 1981.

[14] Krathwol, et al, 1964 dalam H.J.X. Fernandes, 1984.

Tidak ada komentar: