Senin, 04 Mei 2009

PENDIDIKAN AGAMA MENGANTARKAN ANAK 'ALIM-SHALIH[1]

--------------------------------------------------------------------------------------------

Ahmad Rohani HM.[2]

PEMBUKA

Firman Allah dalam Q.S. Al Isra’ ayat 23 antara lain perintah kepada anak untuk berbakti, berbuat baik kepada ibu-bapak setelah berbakti kepada Allah; sementara Q.S. Luqman ayat 14 secara khusus berbicara mengenai keharusan anak berbuat baik kepada ibu. Dalam Hadits Rasul saw. Dijelaskan keharusan anak berbuat baik kepada ibu hingga diulang sampai 3x, kemudian kepada bapak[3] dan orang yang terdekat, dan berbuat baik kepada siapa aja. Masalahnya: bagaimana menjadikan anak yang senantiasa berbakti kepada Allah, berbakti kepada ibu-bapak. Dengan kata lain, bagaimana menjadikan anak yang ‘alim-shaleh? Inilah tugas pendidikan agama pada anak. Ini pula topik inti yang hendak dibicarakan di bawah ini.

ANAK YANG BERBAKTI ADALAH ANAK 'ALIM-SHALIH IDAMAN IBU-BAPAK

Anak yang ‘alim, adalah anak yang benar, anak yang berilmu, yang memahami agama (Islam) dalam arti yang sebenarnya. Agama dalam arti luas dan utuh. Luas artinya bahwa agama sebagai konsep yang mengatur seluruh kepentingan dan kehidupan, dunia-akhirat. Utuh artinya agama sebagai pedoman hidup yang multi-dimensi menjadi “ugeran” dalam hal apa aja.

Anak yang shaleh, adalah anak yang baik, yang senantiasa berperilaku menurut tuntunan syari’at, baik yang terkait dengan amalan dlaruriyah (primer, pokok), hajjiyah (sekunder), maupun tahsiniyah (tersier, kepatutan, kepantasan). Anak yang shaleh, selalu memilih pilihan tindakan yang terpuji, dan menghindari pilihan tindakan yang tercela.

Anak yang ‘alim-shaleh adalah anak yang mengerti dan berperilaku secara benar dan baik. Cerdas rasio, cerdas emosi, cerdas spiritual, cerdas transendetal, cerdas amal. Ia tidak mudah ditipu, dan tidak mau menipu. Ia mengerti ambang batas perilaku yang disyari’atkan agama.

ANAK SEBAGAI AMANAH , BUKAN MILIK ORANG TUA

Anak (kandung) adalah anak. Sekalipun ia nantinya telah menjadi tua, ia tetaplah anak dari ibu-bapaknya. Ketika sebelum memisahkan diri dari tanggungan keluarga, karena telah bekerja, atau berumah tangga sendiri, anak menjadi tanggung jawab orang tuanya. Tanggung jawab alami, naluri ini telah diakui oleh agama manapun, dan undang-undang negara.

“Anak bukanlah milik[4] ayah-ibu”, sebagai halnya istri bukan milik suami, dan sebaliknya. Dalam perspektif Islam, anak merupakan amanah (trust) yaitu, seseorang (anak) atau sesuatu yang diperintahkan (dari yang lebih atas; Allah) dan dipercayakan kepada seseorang (orang tua, ibu-bapak). Ini berarti ibu-bapak berkewajiban menerima., memelihara dan menjaganya dengan sebaik-baiknya. Sebagai amanah, anak harus dipelihara, dijaga dengan sebaik-baiknya oleh ibu-bapaknya, jangan sampai mendapatkan perlakuan kekerasan[5] (violence, hardness), apalagi dari orang tuanya sendiri. Sekalipun kekerasan demi kebenaran, hal ini tidak diperbolehkan secara moral dan agama. Bahkan demi menyelamatkan anak sekalipun, tidak diperbolehkan dengan cara kekerasan. Apabila dalam keluarga terkondisikan dengan kekerasan, maka perilaku anak pun menjadi keras. Sebaliknya, suasana atau kondisi keluarga yang jauh dari kekerasan, dan terhiasi dengan kelemah-lembutan serta kehangatan yang penuh kasih sayang, maka sang anak akan memiliki sikap lemah-lembut dan kasih sayang terhadap sesama (lingkungan). Hal ini tergantung pada ada-tidaknya suasana yang kondusif dalam keluarga, dan tidak sekedar tersedianya ucapan, perintah, atau informasi. Ingat, suasana yang kondusif lebih penting daripada pemberian informasi (Sumadi Suryabrata; 1984). Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), misalnya kekerasan ibu atau bapak terhadap anak akan terjadi manakala “konsep milik” dikuasai oleh ibu atau bapak. Keadaan yang demikian tidak akan terjadi manakala “konsep amanah” yang dikuasai.

Dengan menganut pandangan atau konsep amanah, orang tua akan dapat menjalankan fungsinya sebagai ibu-bapak secara benar: mendidik anak sesuai jiwa jaman; mendidik anak dengan penuh kasih-sayang dan kelemah-lembutan; mendidik dengan keteladanan dan tidak sekedar memerintah; mempermudah urusan anak dan tidak mempersulit urusan anak; menggembirakan anak dan tidak menyusahkan anak; membiasakan suasana diam ketika marah daripada kemarahan yang terungkap dengan ucapan dan tindakan; membiasakan anak bermusyawarah dalam berbagai urusan daripada mengharuskan anak untuk “manut” perintah; memberdayakan keluarga sebagai fungsi agama, pendidikan, ekonomi, sosial, perlindungan, dan kenyamanan; menciptakan keluarga sebagai miniatur syurga dan bukan sebagai miniatur neraka[6]. Keadaan-keadaan yang demikian akan mengantarkan anak menuju idaman orang tua yakni anak ‘alim-shaleh. Itu berarti, orang tua telah menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemegang amanah, memelihara dan menjaga amanah (anak) dengan sebaik-baiknya.

Seseorang anak yang dibesarkan, dipelihara dan dididik dalam rumah tangga yang aman-tenteram, penuh dengan kasih sayang akan bertumbuh dengan baik dan pribadinya akan terbina dengan baik pula. Lebih-lebih lagi apabila ibu-bapaknya mengerti agama dan menjalankannya dengan taat dan tekun. Setiap gerak, sikap dan perlakuan, yang diterima oleh si anak dalam keluarganya, akan menentukan macam pribadinya yang bertumbuh nanti. Apabila si ibu, tenang, penyayang, dapat mengerti ciri-ciri pertumbuhan yang sedang dilalui oleh si anaknya, dan tekun menjalankan agama, serta dapat melatih anak-anaknya untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai moral yang ditentukan oleh agama, dan tahu pula sekedarnya psikologi (perkembangan) anak dalam segala tingkat usia dengan ciri dan problematikanya masing-masing, maka ia akan dapat membina moral anaknya secara teratur dan sehat (Zakiyah Daradjat, 1982; 78-79).

Firman Allah dalam al Qur’an surat al Anfal ayat 27-28: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul saw. dan juga janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu sedangkan kamu mengetahuinya. Dan ketahuilah bahwa harta dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan, dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar”. Firman Allah pula dalam al Qur’an surat an Nisa’ ayat 58: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum, menetapkan kebijakan di antara manusia hendaknya menetapkannya secara adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.

Semua manusia adalah pemegang amanah dari Allah, karena manusia memang memiliki fithrah sebagai pemegang amanah. Tetapi, karena manusia juga memiliki nafsu dan kelemahan, sehingga dalam proses memegang dan menjalankan amanah, manusia menjadi terjebak dalam pengkhianatan, kedzaliman dan kebodohan, dan resiko negatif inilah yang dikhawatirkan oleh langit, bumi, dan gunung sehingga merasa tidak sanggup memikul amanah (Simak! dalam al Qur’an surat al Ahzab ayat 72). Rasul saw. bersabda: “Memelihara amanah adalah fithrah manusia yang ada di dalam setiap hati nurani umat manusia” (H.R. Muslim). “Setiap orang di antara kalian adalah pemimpin, pemegang amanah kepemimpinan, dan setiap orang akan ditanya tentang kepemimpinannya…” (H.R. Bukhari).

PENDIDIKAN AGAMA: MENGANTAR ANAK MENUJU KE'ALIMAN DAN KESHALIHAN

Pendidikan agama adalah suatu proses usaha dari orang dewasa (orang tua atau ibu-bapak, guru, ustadz, atau kyai) yang disadari untuk mengantarkan anak menuju kedewasaan, kemandirian, atau kesempurnaan). Hal ini dapat dicapai dengan baik manakala konsep anak sebagai amanah menjadi pijakan pendidikan agama. Tanggung jawab pendidikan agama utamanya pada ibu-bapak. Guru, ustadz, atau kyai adalah pendidik kedua. Wadah pendidikan ada dalam keluarga[7], sekolah / madrasah/pesantren[8], dan masyarakat.

Pendidikan agama dilaksanakan dalam rangka mengembangkan fitrah beragama[9] (gharizah diniyah). Pada hakikatnya, materi pendidikan agama pada semua anak adalah sama yakni berkisar pada penguatan aqidah (keimanan), pengembangan ilmu (pengetahuan), dan pembentukan kebiasaan kehendak (amal, akhlaq, atau kecakapan beramal). Ketiga aspek ini bisa dikembangkan dalam berbagai versi dan variasi. Hal ini tergantung pada tingkat (usia) pertumbuhan (biologik) dan perkembangan (pikologik) anak. Pendekatan, sasaran, dan metode pendidikannya pun perlu menyesuaikan dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak.

Pendidikan agama bukan hanya berorientasi pada persoalan ukhrawi, melainkan harus diorientasikan pula pada persoalan duniawi. Sekalipun ditujukan untuk pengembangan fitrah keagamaan, kedewasaan, kemandirian, atau kesempurnaan beragama, bukan berarti pendidikan agama steril dari persoalan duniawi. Bahkan dunia sebagai ladang bercocok tanam untuk pembuahannya di akhirat kelak harus dipahami sebagai dua alam dalam sekeping kehidupan. Pendidikan agama harus dilakukan untuk mendudukkan perilaku-perilaku duniawi anak yang bernilai ukhrawi. Pelaksanaannya tergantung pada kapasitas dan kapabilitas pendidik[10]: ibu-bapak, guru, ustadz, atau kyai. Kapasitas dan kapabilitas pendidik dapat dibangun, dikembangkan melalui berbagai media dan kesempatan. Siapapun pendidik, dituntut untuk terus belajar mengenai pendidikan agama pada anak, baik yang terkait dengan kompetensi materi, metodologi, maupun kepribadian.

Anak yang berhasil dididik dengan pendidikan agama, ditunjukkan dengan terwujudnya ke’aliman akal dan keshalehan amal, pengetahuan dan wawasan keagamaannya luas dan luwes, perilakunya baik dan bermanfaat bagi diri dan orang lain. Yang demikian ini merupakan modal kapital bagi anak untuk menggapai syurga idaman dan menjauh dari ancaman siksa api neraka. Itulah jariyah amal dari para pendidik.

PENUTUP : NASIHAT AHNAF

Suatu ketika Mu’awiyah gusar dan marah kepada anaknya yang bernama Yazid. Lantas anaknya diasingkan. Mendengar demikian, Ahnaf sang penasihat Mu’awiyah berkata: Wahai amirul mukminin, anak-anak kita adalah buah hati dan tulang punggung kita. Kita ini bagaikan langit yang teduh bagi mereka dan bagaikan bumi yang rata. Dengan keberadaan mereka, kita dapat memperoleh kejayaan. Kalau mereka marah, hiburlah dengan sabar, kalau mereka meminta, berilah, jika tidak meminta sesuatu, tawarilah, Jangan engkau perlakukan mereka dengan kasar dan kejam sehingga mereka tidak betah bersanding denganmu, bahkan mendo’akan kematianmu[11].

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, M. (1978). Hubungan timbal balik pendidikan agama di lingkungan sekolah dan keluarga. Jakarta: Bulan Bintang.

Ash Shayim, Muhammad. (1991) Buyuutu la Tadkhuluhasy Syayaathiin (terj.: Rumah yang tidak dimasuki syetan).

Bin Abdul Hakam, Abdullah. (2002). Al-khalifatul-'adil: Umar bin Abdul Aziz, khamis khulafaur-rasyidin. (terj.: Biografi Umar bin Abdul Aziz penegak keadilan. Jakarta: Gema Insani Press.

Daradjat, Zakijah. (1970). Ilmu jiwa agama. Jakarta: Bulan Bintang.

Fromm, Erich. (1988). To have or to be (terj. memiliki dan menjadi tentang dua modus eksistensi). Jakarta: LP3ES.

Mahalli, A. Mudjab. (2005). Menikahlah, engkau menjadi kaya. Yogyakarta; Mitra Pustaka.

Depag RI. (1989). Al Qur'an dan terjemahnya. Semarang: CV. Toha putra.

RIWAYAT PENULIS

Nama : Drs. Ahmad Rohani HM., M. Pd.

Lahir : Sukoharjo, 28 Mei 1963

Alamat : Gunung Kunci 04 / IX Kartasura 57167 Sukoharjo

Telp/Faks : 0271 780898

HP : 081329094090 / 081393408427

Pendidikan :

  1. Sekolah Dasar : SD Islam Al Hilal Kartasura,

tamat dan berijazah SD dan MI tahun 1976

  1. SLTP : MTsN I Surakarta

tamat dan berijazah tahun 1979

  1. SLTA : PGAN Surakarta, tamat dan berijazah tahun 1982
  2. Sarjana Muda : Jurusan PAI Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Smg.

tamat dan berijazah tahun 1985

  1. S1 : Jurusan PAI Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Smg.

tamat dan berijazah tahun 1986/87

  1. S2 : Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan

IKIP Yogyakarta, tamat dan berijazah tahun 1996/97

  1. S3 : Kandidat Doktor

Konsentrasi Metodologi Evaluasi

Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan

Universitas Negeri Yogyakarta,

Pengalaman

  1. Sejak mahasiswa menjadi aktivis organisasi intra kampus (Senat Mahasiswa) dan ekstra kampus (PMII hingga tingkat Jawa tengah, dan KNPI hingga tingkat Kodia Semarang)
  2. Lulus pertama kali Sarjana Muda pada tahun angkatannya Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.
  3. Sarjana Teladan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang tahun 1986/87
  4. Mengajar di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang sejak tahun 1987 sampai tahun 1991/92
  5. Mengabdi di UNISSULA sejak tahun 1989 hingga sekarang
  6. Mengajar di Universitas Nahdhatul Ulama tahun 1992 sampai tahun 1994
  7. Menulis beberapa buku yang diterbitkan oleh penerbit buku nasional di Jakarta seperti PT Rineka Cipta dan Bumi Aksara Jakarta, sejak tahun 1990, antara lain: (1) pengelolaan Pengajaran; (2) Pedoman Penyelenggaraan Administrasi Pendidikan di Sekolah; (3) Bimbingan dan Konseling di Sekolah); (4) Media Instruksional Edukatif.
  8. Menulis buku beberapa artikel ilmiah di beberapa jurnal / majalah ilmiah Al Fikri, dan majalah ilmiah Sultan Agung.
  9. Bersama Bp. Drs. Nidhomun Ni'am, merintis Majalah Ilmiah Al Fikri sejak tahun 1980-an akhir.
  10. Dengan direstui Dekan FAI (Bp. Drs. A. Qodim Suseno) dan didukung PD I FAI (Bp. Drs. Ali Bowo Tjahjono, M. Pd.) merintis berdirinya Program Akta IV Tarbiyah UNISSULA Semarang sejak tahun 1997/98.
  11. Pernah menjabat sebagai: Biro Administrasi pendidikan (BAP) Jurusan Tarbiyah FAI UNISSULA, Pembantu Dekan I, II, dan III Fakultas Tarbiyah / FAI UNISSULA, anggota Senat Universitas dan anggota Senat Fakultas.
  12. Ketua Pusat Studi Pengembangan Ilmu dan Sistem Pengajaran Lemlit UNISSULA
  13. Ketua Tim Penyusunan program Studi Baru: PGSD dan PGTIK UNISSULA Semarang dan PHK S1-PGSD B Terintegrasi 2007
  14. Konsultan informal persiapan Akreditasi Program Studi ISID Ponorogo.
  15. Mengadakan beberapa penelitian, antara lain mengenai: Pelaksanaan Taman Pendidikan Al Qur'an di Semarang; Metode Teladan dalam Pendidikan Akhlak; Minat Lulusan D2 melanjutkan ke Tarbiyah UNISSULA; Minat Baca Dosen UNISSULA.
  16. Ketua penyelenggara dan Pemateri dalam beberapa Pelatihan Dosen-Dosen UNISSULA dalam bidang Pengajaran maupun Penelitian.
  17. Pemateri dalam Penataran Guru-Guru Pendidikan Agama Islam SD se Jawa Tengah dalam bidang Pembelajaran PAI, sejak tahun 1990-an.
  18. Aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial keagamaan di masyarakat.



[1] Ditulis untuk Majalah Ilmiah SULTAN AGUNG Unissula Semarang.

[2] Staff Pengajar FAI Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang

[3] Anak yang tidak berbakti kepada kedua orang tuanya adalah anak durhaka, berbuat dosa terbesar di antara dosa-dosa besar, sebagai sikap dan tindakan yang diharamkan (disebutkan dalam berbagai al Hadits) .

[4] Konsep milik (having, to have) dalam kehidupan berimplikasi pada sikap egois, subjektif, dan ssewenang-wenang. Sementara kenyataan dalam kehidupan sekarang, konsep milik telah sedemikian mengakar dalam diri kita.

[5] Kekerasan adalah tindakan fisik maupun psikis serta ucapan seseorang yang cenderung menyakiti atau melukai pihak lain. Menurut Filsuf Yunani kuno, Plato, kekerasan itu sebagai tindakan yang berlawanan dengan moral. Rasul saw. pun selalu memberi teladan untuk menghindari tindakan kekerasan, kecuali dalam keadaan self-defence.

[6] Keluarga atau rumah yang menjadi miniatur syurga (keluarga sakinah) merupakan idaman setiap muslim sebagai yang dicontohkan Rasul saw. Indikatornya antara lain syetan tidak mau memasuki ke dalamnya. Penghuni (anggota keluarga) di dalamnya gemar dengan kebersihan, dzikir, ruku’ dan sujud, makanannya halal dan tak mengonsumsi yang haram, gemar silaturrahmi, anak-anaknya berbakti, orang tuanya menghargai, istrinya shalihah, bapaknya shalih, anak-anaknya halih shalihah, memahami hak dan kewajiban, menjaga rahasia, menolak kemungkaran, dihiasi salam, penh tawadlu’, pemaaf, penuh cita dan kasih sayang (Muhammad ash Shayim. (1991) Buyuutu la Tadkhuluhasy Syayaathiin).

[7] Keluarga sebagai wadah pendidikan agama yang paling pokok.

[8] Sekolah, madrasah, atau pesantren sebagai wadah kedua untuk reeducation and reconstruction of personality anak.

[9] Q.S. ar Ruum ayat 30; surat al A’raf ayat 172.

[10] Kapaitas dan kapabilitas pendidik dalam arti memiliki wawasan pengetahuan agama serta memiliki kecakapan atau kesanggupan dan kemampuan mengenai agama yang dididikkan kepada anak.

[11] Abdullah Bin Abdul Hakam. (2002). Al-khalifatul-'adil: Umar bin Abdul Aziz, khamis khulafaur-rasyidin. (terj.: Biografi Umar bin Abdul Aziz penegak keadilan. Jakarta: Gema Insani Press.

Tidak ada komentar: