Paper Reviu Karya
ABDUL AZIZ ABDUL MAJID :
AL QISSAH FI AL TARBIYAH, MESIR : DAAR AL MAARIF, T. TH.
(ALIH BAHASA: MENDIDIK DENGAN CERITA
OLEH NENENG YANTI, DKK., BANDUNG : PT REMAJA ROSDAKARYA)1
ahmad rohani hm.2
Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim … (Q.S. asy Syu’ara’; 69, 75-81).
Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan Yang Maha Penyayang itu ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila jahil menanya mereka dengan kata-kata yang tidak sopan, mereka mengucapkan yang mengandung keselamatan (Q.S. al Furqan; 63).
Istiftah
Klarifikasi, bahwa paper ini tidak bermaksud untuk “bedah buku” sebagai yang Panitia minta kepada saya.
q Saya bukan “ahli bedah” yang kompeten, karena saya memang tidak mempunyai alat bedah yang relevan dan memadai, utamanya disiplin linguistik (sastra);
q Konotasi “bedah” atau “membedah” adalah merobek atau memotong bagian tubuh (buku) yang sakit, mengoperasi. Dan ini merupakan pekerjaan berat yang tidak mungkin saya lakukan. Bahwa buku Abdul Majid tersebut “tidak sakit”, artinya tidak mengandung penyakit serius yang membutuhkan pembedahan. Pendek kata, buku tersebut relatif “sehat”, paralel dengan maksud penulis buku yang hendak “menyehatkan” dunia pendidikan persekolahan (utamanya guru) yang tengah “menderita peradangan”. Solusi terapiutik yang penulis buku tawarkan adalah menghidupkan dan mengembangkan kisah atau cerita.
Bahwa paper ini lebih tepat disebut “paper reviu” atas buah karya Abdul Aziz Abdul Majid yang berjudul al Qissah fi al Tarbiyah (tahun …?) yang dialih-bahasakan oleh Neneng Yanti Kh., dkk. menjadi Mendidik Dengan Cerita (cetakan II, 2002). Sayang, hingga paper reviu ini ditulis, saya belum menemukan buku asli, buku pertama sebelum dialih-bahasakan. Sehingga saya hanya bisa berasumsi bahwa buku alih-bahasa tersebut memiliki kualitas presisi yang paralel dengan buku aslinya.
Pengalaman sebagai penulis beberapa buku, saya appreciated dan ber-husnudzan bahwa pengalih-bahasaan karya Abdul Majid tersebut telah mendapatkan “restu” yang bersangkutan, sekalipun tidak dicantumkan dalam cetakan buku. Jika demikian halnya, berarti ada saling menghargai hak karya intelektual sekaligus tidak melanggar peundang-undangan hak cipta. Tetapi, jika tidak demikian, betapa “menyakitkan, biadab, dan dzalim” terhadap pemilik karyanya, tentu saja juga merampas hak cipta atau hak intelektual serta perundang-undangannya. Mengapa demikian, sebagai penulis buku saya telah pernah merasakan betapa sakit dan terdzalimi ketika sebuah karya saya (bersama Pak Nidlomun Ni’am) dibajak (dirampas) orang lain yang pernah menjadi dosen saya.
Isi Pokok Buku
Batang tubuh buku Mendidik dengan Cerita ini core-nya berisi 2 bagian :
Ø Conten loading pada bagian pertama secara garis besar berisi metodologi cerita, yaitu bagaimana membangun cerita yang edukatif terhadap siswa, dengan memperhatikan fase-fase kejiwaan anak beserta irama dan karakteristik perkembangan kejiwaan mereka. Dimulai dari memahami hakikat cerita yang edukatif, mengarang cerita yang tematik, mengkomunikasikan cerita di klas (penceritaan), penyimakan cerita dan ungkapan ulang oleh siswa (menurut istilah Social Learning Theory sebagai retention & reproduction), mempersiapkan cerita (penciptaan setting, atau menurut Behaviorism disebut conditioning), metode penyampaian cerita, contoh membuat satuan pelajaran cerita secara tertulis, dan diakhiri dengan supervisi kepala sekolah terhadap proses penceritaan yang dikelola oleh guru di klas.
Ø Pada bagian kedua buku tersebut, berisi 30 jenis contoh cerita pendek (cerpen, dongeng). Setiap akhir cerita diakhiri dengan petunjuk khusus cerita. Penulis buku mengakui, contoh-contoh cerita ini diambil dari teori cerita atau sastra kurun waktu pertengahan tahun 1950-an, sifatnya sederhana dan tidak aktual (p. vi). Meski sederhana dan tidak aktual, contoh-contoh cerita yang dipaparkan hampir semuanya berisi pesan moral. Misal, cerita 3 (p. 82-86) berisi pesan moral perbuatan hati-hati, jangan lalai, dan saling menolong. Cerita 7 (p. 98-101) berisi pesan moral mencari jalan penyelamatan yang baik, dan cara menolong teman. Beberapa cerita lainnya tampaknya bernuasa mistis seperti cerita 8, 9, dan 26. Personifikasi cerita dominan binatang yaitu hampir 50% tokoh peran dalam contoh-contoh cerita berupa binatang.
Pencermatan Reviewer
v Penulis buku (hanya) berasumsi bahwa kisah atau cerita berpengaruh (tanpa ada dukungan data atau hasil riset yang accountable) pada pembentukan moral, (akhlak) dan akal (mengembangkan pengetahuan) anak, kepekaan rasa, imajinasi, dan bahasa (p. vii, dan 4).
v Buku ringkasan hasil studi eksperimen (metodologinya tidak jelas) di Sudan, Mesir, Yordania, dan Libanon ini merupakan sebuah karya yang membawa 3 misi sekaligus : (1) misi moral, pendidikan moral sebagai substansi dari aktivitas mendidik; (2) misi metodologik, artinya penulis buku mengajak pembaca dan komunitas pendidik moral untuk menggunakan cerita sebagai metode pendidikan moral; (3) misi bahasa (sastra), yaitu penulis buku menganjurkan agar pendidikan sastra menjadi kurikulum yang diprogramkan di sekolah. Bahkan cerita menjadi bagian (cabang) dari ilmu bahasa.
v Keyakinan penulis buku, bahwa dimensi-dimensi afektif, kognitif, dan psikomotorik dapat dikembangkan dalam pendidikan melalui metode cerita.
v Asumsi (implisit) penulis buku, bahwa setiap guru (pendidik) adalah guru dongeng, baik karena tabiat (alami) maupun latihan, artinya bercerita itu learnable atau learned.
v Buku tersebut bernuansa Timur Tengah dengan membawa trade-mark yaitu, cerita Aladin, kotak ajaib, jin, dan nama-nama yang bernuansa Arabiyah.
Plus-Minus Karya Abdul Majid
· Plusnya
o Bagi guru (guru dongeng) : buku tersebut sangat membantu terutama guru yang tidak memiliki tabiat mendongeng maupun tidak memiliki kemampuan sastra.
o Bagi siswa : buku tersebut, terutama 30 cerita yang di paparkan dapat mengembangkan daya afek dan kognisi anak.
o Bahwa 30 contoh cerita yang disajikan pada bagian kedua buku tersebut bukanlah cerpen murahan dan mubadzir. Karena semua isi ceritanya memiliki muatan misi edukatif, moral, dan memiliki orientasi konsep-konsep baru bagi si tercerita.
o Penulis buku menghendaki agar cerita tidak sekedar menjadi metode yang berorientasi verbalistik tanpa makna, sebagaimana ciri kelemahan metode cerita itu sendiri. Cerita agar menjadi metode yang dapat mengembangkan dimensi-dimensi kepribadian anak, seperti akal, rasa, imajinasi, moral.
· Minusnya
o Pada pengantar dijelaskan bahwa buku yang mencakup 30 cerita ini disarankan untuk disampaikan pada anak usia 7, 9, atau 10 tahun. Hal ini tanpa disertai argumen psikologik yang memadai, artinya mengapa 30 cerita tersebut diperuntukkan bagi anak (siswa) usia tertentu.
o Penulis buku tidak konsisten, ketika dalam pengantar mengkhususkan anak usia 7, 9, dan 10 tahun, tetapi dalam penjelasan mengarang cerita terutama menyangkut ide justru dengan panjang lebar berbicara tema-tema cerita (p. 12-16), mulai dari tema cerita untuk anak usia 3 tahun sampai anak (remaja) usia 19 tahun atau sesudahnya. Mestinya penulis buku lebih konsisten, jika lebih banyak menjelaskan tema cerita yang psikologik sebagai dikehendaki dalam pengantar.
o Buku panduan teknis cerita tersebut sesungguhnya tidak berisi hal baru, terutama 30 contoh cerpennya, sebagai diakui sendiri oleh penulisnya.
o Buah karya Abdul Majid tersebut, sangat teknis, Hanya cocok dibaca oleh audiens praktisi. Bahkan “saking” teknisnya, buku tersebut terkesan mendikte metodologik. Sementara buku tersebut lahir dari setting Timur Tengah. Kemudian dialih-bahasakan dan disosialisasikan di negeri beriklim tropis, yang tentu saja memiliki setting budaya berbeda. “Metodologi Timur Tengah” dapatkah menjawab tantangan modern-posmodern yang telah mencapai tahap teknologi informasi?
o Oleh penulis buku dijelaskan bahwa buku tersebut sebagai ringkasan studi yang panjang dari ujicoba (p. viii). Sayangnya, tidak dijelaskan (secara metodologik riset) oleh penulis buku, apa yang dimaksud dengan studi yang panjang dan ujicoba, dan bagaimana metodologinya djalankan.
o Penulis buku beberapa kali menyinggung keterkaitan kejiwaan anak dan cerita. Masalahnya, acuan paradigma psikologiknya tidak jelas.
o Teknis, beberapa paragraf dari buku tersebut disertai nomor (maksudnya nomor catatan) tetapi hanya berhenti pada penomoran di dalam batang tubuh, tidak ada catatan kaki, atau catatan akhir bahasan atau catatan akhir buku sesuai penomoran yang dikehendaki.
Aplikasi
Buku tersebut, hemat saya positif untuk menghiasi dan memperkaya dunia perceritaan dalam dunia pendidikan. Setidaknya dapat memotivasi dan menginspirasi guru yang tidak memiliki tabiat mendongeng, menuju kesadaran sebagai guru dongeng seperti harapan penulis buku yaitu setiap guru adalah guru dongeng yang berugas bercerita atau mendongeng, terutama guru TK dan guru SD (p. 5). Dengan menggunakan metodologi cerita yang dikenalkan penulis buku, guru “dituntun” bagaimana bercerita atau mendongeng, mulai dari persiapan tertulis dan tak tertulis sampai pada pelaksanaan dan evaluasi hasil cerita.
Melalui buku tersebut, pembaca, terutama guru mendapat “ujaran” dari Abdul Majid bahwa pesan pendidikan dan moral demikian penting dikomunikasikan melalui cerita. Lebih jauh dari itu, menurut hemat saya, kecerdasan majemuk (Howard Gardner, 1983), kecerdasan emosi (Daniel Goleman, 1995), kecerdasan spiritual (Marsha Sinetar, 2000), atau kecerdasan intelektual, apakah inteligensi umum atau kemampuan spesifik (Charles Spearman) atau kecakapan mental primer (L. L. Thurstone), dapat pula dikembangkan melalui media cerita. Demikian pula untuk menerapkan 10 Prinsip Spiritual Parenting (Mimi Doe dan Marsha Walch, 2001) guna menumbuhkan dan merawat jiwa anak-anak dapat dioperasionalisasikan melalui media cerita.
1 komentar:
Terimakasih atas materinya. mohon materi diperbanyak.
Posting Komentar