DASAR PENIPU, MATI PUN MASIH MENIPU
Ahmad Rohani HM.
Bahwa menipu (mengakali, memperdayakan, tidak jujur, bohong, atau palsu) termasuk perbuatan munafik yang ciri-ciri sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasul saw. : "Tanda-tanda orang munafik ada tiga perkara, yaitu apabila berkata ia berbohong, apabila berjanji ia mengingkari dan apabila diberi amanah ia mengkhianatinya" Menipu merupakan perbuatan yang timbul dari sifat dan sikap hati yang kotor dan busuk, ia tidak akan luput dari pertanggungjawaban kepada Sang Khaliq.
Dewasa ini, menipu telah menjadi wabah menular sekaligus menjadi budaya, atau telah menjadi sikap mental yang mengakar pada kebanyakan manusia. Tidak sedikit keadaan keluarga menjdi broken-home disebabkan di antara anggota keluarga melakukan penipuan. Juga, tidak sedikit suatu instansi birokrasi menjadi bobrok karena di dalamnya terjadi penipuan yang luar biasa. Negeri kita tercinta yang ditegakkan dengan mekanisme birokrasi, bisa jadi telah sedemikian mewabah penyakit dan budaya menipu di kalangan birokratnya, atau malahan juga rakyatnya, sehingga tidak heran jika berjuta bencana silih berganti menimpa bangsa kita.
Menipu dapat muncul dalam beragam ujud dan bentuk. Tidak disiplin bekerja/belajar, rekayasa SPJ atau LPJ yaitu apa yang dilaporkan tidak sejalan dengan apa yang senyatanya terjadi, adalah contoh-contoh perbuatan menipu. Tetapi, sebuah konsekuensi dan telah menjadi "rahasia yang bukan rahasia", bahwa sistem kerja dengan mesin birokrasi selalu membentuk sikap mental birokrat maupun warga birokrasi untuk menipu. Hal ini menjauhkan seseorang dari surga Allah. Sabda Rasul saw. : Siapa yang ditaklifkan oleh Allah untuk memimpin rakyatnya lalu mati dalam keadaan menipu rakyat, Allah mengharamkan atasnya (masuk) surga".
Penjual dan pembeli yang suka menipu, sungguh jauh dari barakah Allah. Sabda rasul saw.: "Penjual dan pembeli diberi kesempatan berfikir selagi mereka belum berpisah. Sekiranya mereka jujur serta membuat penjelasan mengenai barang yang dijual belikan, mereka akan mendapat berkah dalam jual beli mereka. Sekiranya mereka menipu dan merahsiakan mengenai apa-apa yang harus diterangkan tentang barang yang dijual belikan akan terhapus keberkahannya".
Menipu, bukan hanya merugikan pihak lain, tetapi juga merugikan diri sang penipu itu sendiri, dan menipu dapat memperbusuk hati seseorang. Semakin sering seseorang menipu semakin busuk hatinya. Penyakit "suka menipu" tidak kalah bahayanya dengan penyakit liver.
Sebagai muslim kita mesti berupaya menjauhi perilaku menipu. Apa yang kita ucapkan, apa yang kita perbuat, atau apa saja yang kita tampakkan pada keadaan dzahir seharusnya selaras dengan keadaan obyektif, atau keadaan obyektif dalam batin (hati). Renungkanlah, mutiara hikmah dari Ibnu Athaillah Assukandary : "Apa yang tertitipkan di dalam kedalaman lubuk hati yang tersembunyi, dzahirlah ia di dalam kenyataan tingkah laku". Dan, "Di antara tanda-tanda matinya hati adalah tiadanya kesedihan atas taat yang luput dari engkau, dan tiadanya penyesalan atas adanya ketergelinciran di dalam apa yang engkau perbuat".
Anekdot Sufi
Alkisah, pernah ada seorang lelaki yang suka merugikan orang lain sehingga orang-orang memanggilnya sebagai sebutan penipu. Ia sering masuk-keluar pasar untuk menipu orang.
Suatu hari, sang penipu itu mendatangi seseorang yang belum dikenal sebelumnya. Ia mengucap salam dan menjabat tangatnya sembari berkata: Anda teman ayahku, hari ini aku ingin menyambutmu sebagai tamuku, kata penipu. Sementara orang yang dijumpai penipu itu berkata : aku tak mengenalmu apalagi orang tuamu. Dasar penipu, ia pun berucap penuh meyakinkan: Sungguh, Anda teman ayahku, mungkin Anda lupa, tetapi saya tak pernah lupa. Aku hanya ingin menjamu tamu Allah saja. Mari kita ke warung makan, saya hendak menjamumu. Setelah masuk warung, sang penipu mengambil beberapa makanan hingga kenyang sampai makanan jualan di warung itu tinggal beberapa sisa saja. Sang penipu minta permisi keluar untuk buang air kecil dalam waktu lama sehingga orang yang dianggap tamunya itu hendak keluar untuk mencarinya, tetapi pemilik warung menahannya sampai jajanannya dibayar. akhirnya "sang tamu Allah" itu yang menanggung bayaran semua yang dimakan sang penipu dan yang dimakannya sendiri.
Dasar penipu, sepanjang hidupnya ia suka menipu. Sampai ketika sakit dan menjelang mati pun, ia juga menipu. Suatu ketika ia sakit dan merasa mendekati ajal tiba, maka sang penipu itu memanggil dua orang untuk diberi upah masing-masing satu dinar dengan syarat melakukan sesuatu. Kata sang penipu, jika aku nanti mati kau harus di belakang jenazahku. Katakan seperti ucapankau: "Ya, laki-laki ini adalah orang shalih dan selalu melakukan perbuatan yang baik". Dan, kalian berdua jangan meninggalkan jenazahku hingga penguburan selesai.
Ketika ajal benar-benar tiba, dan sang penipu pun mati, dua orang yang telah diupahinya itu melakukan pesannya, mereka membuntuti keranda jenazah sambil berkata dengan kata-kata sang penipu itu., dan mereka berdua mengantarkan jenazahnya sampai penguburan selesai dan kemudian pulang. Pada saat penipu telah di dalam kubur, dan telah ditinggalkan muazziyin (pelayat), datanglah dua malaikat kubur untuk memintai pertanggungjawaban atas perbuatannya. Tiba-tiba terdenghar suara: Tinggalkan hamba-Ku. Ia memang penipu, dan hidupnya selalu melakukan penipuan, bahkan pada saat mati pun ia menipu. Tetapi, ia telah diampuni karena dua orang upahan itu. Wallaahu a'lam. (AR).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar