Senin, 04 Mei 2009

MENGAPA HARUS SHALAT? (Kajian Hikmah Shalat)*

--------------------------------------------------------------------------

Ahmad Rohani HM.

Pengertian Shalat

  1. Pengertian Shalat secara Fiqhiyah
    1. Ibadah yang meliputi ucapan dan perbuatan tertentu, dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam.
    2. Beberapa ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbiratul ihram, disudahi dengan salam, yang dengannya kita beribadah kepada Allah menurut tata cara yang telah ditentukan.

Dengan mengacu dua pengertian shalat secara fiqhiyah itu, kita memperoleh kesan bahwa shalat itu sebagai ibadah fi’liyah yang dapat diamati (dilihat dan didengar). Tetapi, pengertian yang demikian belum memadai untuk memahami mengenai hakikat shalat yang sesungguhnya, di dalamnya mengandung ruh atau jiwa. Sehubungan dengan hal ini, perlu dipahami pula pengertian shalat secara haqiqiyah.

  1. Pengertian Shalat secara Haqiqiyah
    1. Berhadapnya hati (jiwa) kepada Allah yang dapat mendatangkan rasa takut kepadaNya serta menumbuhkan di dalam jiwa rasa keagungan dan kebesaranNya serta menyempurnakannya.
    2. Berhadap kepada Allah dengan sepenuh jiwa, dengan segala khusyu’ di hadapan Allah, berikhlas kepadaNya erta menghadirkan hati dalam berdzikir, berdo’a, serta memujiNya.
    3. Sabda Rasul saw.:

Sesungguhnya shalat itu ialah ketetapan dan kerendahan hati

    1. Hadits Rasul saw. yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi menjelaskan:

Sesungguhnya shalat itu menetapkan hati, menundukkan diri, merendahkan hati, meratapi batin, menyesali diri. Dan engkau meletakkan kedua tanganmy seraya membaca: Allaahumma, Allaahumma, barangiapa tidak berbuat demikian, maka shalatnya itu penuh kekurangan.”

    1. Imam Nasa’i, meriwayatkan hadits Rasul saw. sbb.:

Berapa banyak orang yang mengerjakan shalat tetapi hanya memperoleh rasa letih dan payah dari shalatnya.”

    1. Sungguh, disyari’atkannya shalat itu bukanlah karena dzahir-rupanya belaka, melainkan lebih jauh dari itu disyari’atkannya shalat karena mengingat jiwanya yang begitu mendalam.

Shalat yang Baik

Shalat yang baik (ihsan shalat), menurut Sidi Gazalba dibedakan menjadi dua batasan: Batasan pertama, mengerjakan rukun-rukun shalat yang diwajibkan; dengan mengerjakan apa-apa yang minimal diwajibkan itu seseorang telah dipandang shalat; apabila kurang daripada itu shalatnya tidak ah, orang itu dipandang belum mendirikan shalat; Batasan kedua, mengerjakan sunat-sunat shalat, dan mewujudkan khusyu’; dengan mengerjakan itu seseorang dipandang menyempurnakan shalat, sehingga makna dan hikmah shalat tercapai.

Shalat yang baik itu meliputi tindakan batin dan lahir. Hal ini sejalan dengan hadits Rasul saw. di atas. Menurut Imam Ghazaly, ihsan shalat itu membentuk khusyu’ yaitu mengakui kekuasaan Tuhan dan tunduk kepadaNya. Bila pengakuan telah ada padanya maka tidak ada yang berat dilakukan, semuanya menjadi ringan. Untuk dapat membentuk khusyu’, seperangkat yang dhahir beserta gerakan-gerakannya serta seperangkat batin dengan niat ikhlas dan kehadiran hati, semua tertuju untuk mengingat dan menghadap Allah.

Orang yang dapat mengerjakan shalat dengan khusyu’ dapat memberikan atsar (bekas) kekhusyu’annya dalam kehidupan sehari-hari, seperti selalu melakukan perbuatan sesuai dengan ajaran Islam, hatinya tenang dan tenteram, tidak pernah berkeluh-kesah, menghindari perbuatan yang keji dan munkar, dll.

Berbeda dengan shalat yang khusyu’, shalat yang lalai adalah shalat yang dikerjakan tanpa melahirkan atsar yang baik, kecuali rasa letih dan payah. Hal ini terjadi karena, tiadanya kemantapan hati tatkala shalat, jasmani dan gerakan-gerakannya melakukan shalat tetapi tidak disertai dengan ketetapan hati dan konsentrasi pikiran. Shalat dikerjakan tanpa kesadaran penuh. Maka, wajar apabila shalat yang dikerjakan tidak menjiwai kehidupan orang-orang yang lalai.

I’tibar (pelajaran) dari Perjalanan Isra’ Rasul saw.:

Firman Allah: “Dan tiadalah Kami jadikan pemandangan (visual) yang Kami perlihatkan kepadamu itu melainkan sebagai ujian bagi manusia” (Q.S. al Isra’; 60).

Bahwa dalam perjalanan Isra’ (perjalanan ruhani Muhammad saw. di malam hari dari Mekah ke Jerusalem) dengan mengendarai Buraq yang ditemani malaikat Jibril, Allah memperlihatkan berbagai pandangan visual kepada Rasul saw. Antara lain

(1) pemandangan pertama, ada sekelompok kaum yang menanam benih pada suatu hari kemudian tumbuh subur dan diketamnya buahnya pada hari itu juga. Dan setiap habis diketam langung berbuah lagi, demikian seterusnya. Kata Jibril: mereka adalah para mujahid yang berjuang membela dan menegakkan agama Allah, kebaikan mereka dilipatgandakan sampai 700 kali lipat;

(2) pemandangan kedua adalah, ada sekelompok kaum yang memukul kepalanya sendiri hingga pecah dan berdarah dengan penuh jeritan kesakitan. Setiap selesai kemudian utuh kembali lalu dipukulnya lagi hingga keadaannya seperti itu pula, ini terjadi berulang-ulang tiada henti. Jibril menjelaskan: mereka adalah kaum yang otaknya merasa keberatan untuk menunaikan shalat lima waktu dalam kehidupannya…. Dan seterusnya masih banyak pandangan visual lainnya.

Shalat Lima Waktu sebagai Syari’at Istimewa dari Allah (Oleh-Oleh dari Mi’raj Nabi saw.):

Bahwa shalat lima waktu adalah salah satu syari’at Islam yang paling istimewa. Sebab Ia merupakan wahyu Allah yang langsung diturunkan kepada Muhammad saw. Ketika beliau menjalankan Mi’raj (naiknya Muhammad saw. secara jasmani dan ruhani menyeberang tujuh lapisan langit sampai ke tahta Yang Maha Kuasa atau ‘Arsy) . Ketika perjalanan mi’raj sampai Sidratul Muntaha, Rasul saw. berpisah dengan Jibril, beliau meneruskan sendiri perjalanan mi’raj ke Mustawa dan ‘Arsy. Di ‘Arsy inilah beliau melihat Allah dari dekat (berdasar Q.S. an Najm; 1-18, beberapa cendekiawan berpendapat bahwa pernyataan al Qur’an menerangkan Muhammad saw. melihat Jibril bukan Allah), dan menerima wahyu (hadiah terbesar) shalat lima waktu sehari semalam; juga wahyu mengenai akhir surat al Baqarah, dan ketentuan hukum mengenai dosa syirik yang tidak terampuni (menurut Nadvi: yang terakhir ini berupa amnesti umum yang dianugerahkan Allah bagi kaum muslimin)

Selain istimewa, perintah shalat memiliki kedudukan sangat penting, sebab dilihat dari cara memperolehnya harus menghadap langsung kepada Allah. Hal ini lain sekali dengan perintah Allah atau syari’at Islam lainnya. Ibarat dalam pemerintahan, seseorang yang memperoleh perintah langsung dari Presiden tentu prestige dan nilainya sangat lain dari yang memerintah seorang menteri, gubernur, bupati, camat, apalagi lurah.

Hikmah Shalat Fardlu 5 Waktu:

  1. Mewujudkan rasa ketenangan dan ketenteraman dalam hati sehingga melahirkan kebaikan diri (perilaku). Perhatikan, bahwa shalat dimulai dengan shalat fajar (subuh) dikala keadaan segar, hati suci dan bersih dari pengaruh, lalu kita bersuci (wudlu’) ---- setelah itu kita berurusan dengan urusan dunia yang penuh beban, terpengaruh oleh berbagai hal … --- lalu kita bersuci dan shalat dzuhur, … dst.
  2. Menunjukkan ungkapan rasa terima kasih baik dengan ucapan maupun sikap dan perbuatan. Karena, kita telah diberi karunia ni’mat berupa jiwa dan raga dengan segenap anatominya. Tanpa kita meminta, Allah telah memberi kita. Shalat adalah salah satu cara berterima kasih kepada Allah Yang Maha Pemberi, dengan melibatkan seluruh anggota lahir (badan; beserta engsel-engsel yang lunak dan mudah digerakkan) dan batin (hati dan jiwa).
  3. Shalat sebagai simbol peribadatan kepada Allah; dengan penghidmatan dan kekhusyu’an
  4. Shalat yang ditunaikan secara tekun dan khusyu’ melahirkan perbuatan terpuji, mencegah perbuatan munkar dan maksiat.
  5. Shalat dapat menutup semua dosa (selama dosa besar dijauhi), kesalahan yang tak disengaja dan kesembronoan. Shalat lima waktu dan shalat Jum’ah sampai Jum’ah yang berikutnya adalah penghapus doa-dosa antara shalat yang satu sampai shalat yang dibelakangnya, selama dosa-dosa besar dijauhi (al Hadits).
  6. Menjernihkan matahati dan membarui ingatan kepada Dzat Yang Maha Esa lagi Kuasa.
  7. Shalat sebagai cara meMaha-Agungkan Allah
  8. Shalat sebagai upaya pendekatan hamba dengan Tuan (Kholiq)

Aspek Religius Shalat:

  1. tiang agama dan ibadah utama dalam Islam
  2. amal yang pertama kali dihisab di akhirat
  3. salah satu pertanda ketaqwaan
  4. ekspresi rasa syukur
  5. sarana mohon pertolongan
  6. salah satu hakikat kebaktian
  7. untuk memakmurkan masjid
  8. sarana untuk mi’raj (mi’rajul mukminin; verticalism context)
  9. tali penghubung antara hamba dan Khaliq
  10. membentuk manusia bersih
  11. terhindar dari sifat keluh kesah
  12. memperoleh kebahagiaan (syurga)
  13. memperoleh ketenangan
  14. terhindar dari neraka saqar
  15. mencegah perbuatan keji dan munkar
  16. barometer perilaku
  17. sarana penghapus doa dan diharamkan masuk neraka serta meninggikan derajat
  18. disertai oleh malaikat
  19. memperoleh tazkiyah (pernyataan suci) dan anugerah dari Allah
  20. memperoleh cahaya pada hari qiyamat
  21. memperoleh pahala seperti haji dan umrah
  22. memperoleh pahala seperti puasa dan shalat selama setahun
  23. memperoleh kebebaan dari neraka dan sifat nifak
  24. memperoleh shalawat dari Allah dan malaikat
  25. memperoleh rumah di syurga
  26. seperti shalat semalam untuk
  27. di bawah jaminan atau naungan Allah
  28. salah satu pintu memperoleh rizqi
  29. jaminan bertemu dengan Allah di akhirat
  30. do’anya tak akan ditolak
  31. batas antara muslim dan kafir
  32. salah satu washiyat Rasul sebelum wafat

Aspek Psikologis Shalat:

  1. olah raga
  2. relaksasi otot
  3. relaksasi indera
  4. meditasi
  5. otosugesti atau otohipnosis
  6. pengukuran dan penyaluran (katarsis)
  7. pembentukan kepribadian
  8. terapi air (hydro therapy)
  9. mendidik disiplin dan jujur serta berpendirian teguh dalam keta’atan

Hikmah Bagian-Bagian dari Shalat:

  1. Menghadap kiblat dengan muka dan badan, dan membaca takbir dengan lisan pada permulaan shalat adalah menandakan Allah Maha Esa sehingga kita harus menghadap ke satu arah, sekaligus sebagai simbol persatuan umat; juga untuk bertawajjuh (bermuwajahah, bertatapan dengan Allah) dan membesarkan Allah dengan penuh kerendahan hati.
  2. Mengangkat tangat dikala takbir, adalah sebagai cara untuk membesarkan Allah dan kita berpaling dari selain Allah serta massuk ke dalam upacara munajat kepada Allah, juga meninggalkan segala urusan dan kepentingan duniawi.
  3. Meletakkan tangan kanan atas tangan kiri dan menata dua kaki serta melihat ke tempat sujud, adalah menandakan ketadziman serta mengumpulkan eluruh anggota lahir maupun tenaga-tenaga batin.
  4. Membaca do’a iftitah, untuk menyatakan kebulatan tekad diri kita kepada Allah semata.
  5. Membaca ta’awudz sebelum al Fatihah, adalah agar kita terhindar dari godaan syetan serta menghayati makna (do’a) dari surat al Fatihah.
  6. Dzikir (membaca al Fatihah) dalam berdiri, adalah karena surat al Fatihah selain sebagai rukun shalat juga sekaligus sebagai di’a yang menyeluruh (do’a jami’).
  7. Berdiri, ruku’ dan sujud, adalah menyatakan kebesaran Allah dengan segenap anggota badan, menta’dzimkan Allah. Allah saja yang Maha Agung, dan kita menyatakan betapa kecil dan rendahlah diri kita di hadapan Allah.
  8. Membaca ayat-ayat al Qur’an sesudah al Fatihah, adalah sebagai upaya pendekatan diri kepada Allah melalui bacaan ayat-ayat al Qur’an yang merupakan wahyu dariNya.
  9. Cara ruku’ adalah sebagai tanda ketundukan kepada Allah Sang Pemelihara alam semesta.
  10. Cara sujud, adalah juga merupakan cara kita menyatakan ketundukan dan penghormatan kepada Allah. Dalam setiap raka’at terdapat 2 sujud mengandung maksud: ujud 1 sebagai perlambang bahwa kita dicipta dari tanah, dan sujud kedua melambangkan kita akan kembali ke tanah (Ali bin Abi Thalib).
  11. I’tidal antara ruku’ dan sujud, untuk memisahkan ketundukan dengan kedua cara tersebut serta untuk mengulangi puji kepada Allah sebelum bersujud.
  12. Duduk di antara dua sujud, adalah untuk menyelangi d iantara keduanya.
  13. Mengisyaratkan telunjuk dikala tahiyyat, adalah upaya saling membantu antara perkatan dan perbuatan sehingga menjadi bermakna dan tergambar dalam peng-Esa-an Allah.
  14. Dzikir dikala ruku’ dan sujud, adalah untuk membangkitkan jiwa dikala ruku’ dan sujud, serta meniadakan waktu sunyi di kala shalat.
  15. Takbir intiqal dikeraskan, untuk memberitahukan ma’mum setiap pergantian gerakan dari rukun yang satu ke lainnya.
  16. Bacaan-bacaan takbir tiap bangun dan turun, adalah untuk mengingatkan dan memalingkan dari selain Allah.
  17. Tidak membaca takbir dikala bangun ke i’tidal, adalah karena takbir hanya dibaca untuk perpindahan rukun. Dan berdiri i’tidal adalah untuk meneruskan pujian serta memisahkan amal antara ruku’ dan sujud.
  18. Membaca tasyahud dan shalawat, karena dalam duduk kita hendak berdo’a, maka layaklah jika kita memuji Allah dan RasulNya lebih dahulu, serta memperbarui pernyataan tauhid melalui syahadatain.
  19. Menyudahi shalat dengan salam, sebagai tanda akhir shalat kita dengan menyatakan kedamaian.

Dimensi Psikologis Shalat Berjamaah:

  1. aspek demokratis (memukul kentongan/bedug; mengumandangkan adzan dan melantunkan iqomah; pemilihan atau pengisian barisan atau shaf; proes pemilihan imam atau pemimpin)
  2. rasa diperhatikan dan berarti
  3. perasaan kebersamaan
  4. menghilangkan jarak personal (personal space)
  5. terapi lingkungan
  6. pengalihan perhatian
  7. melatih saling ketergantungan
  8. membantu pemecahan masalah
  9. membangun ikatan persaudaraan dan persatuan masyarakat.

Keutamaan Mengerjakan Shalat Subuh:

  1. faktor dilapangkannya rezeki
  2. menjaga diri seorang muslim
  3. sama dengan shalat malam semalam suntuk
  4. tolok ukur keimanan
  5. penyelamat dari neraka
  6. salah satu penyebab seseorang masuk syurga
  7. mendatangkan nikmat berupa bisa melihat Wajah Allah yang Mulia kelak di akhirat
  8. suatu syahadah, khusunya bagi yang konsisten memeliharanya
  9. kunci kemenangan
  10. lebih baik daripada dunia seisinya.

Referensi:

  1. ………….. (t.th.) Ensiklopedi Islam. Jilid 4. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve.
  2. Ahmad Rohani HM. (2004). Efek Edukatif dalam Shalat. Majalah Ilmiah Al-Fikri No. 34/Desember/Th.XIV/2004.
  3. Ahmad Rohani HM. (2006). Mengapa Harus Shalat. Materi Pengajian di Muhala Sedahromo Kidul Kartassura.
  4. Al Ghazaly, Imam Abi Hamid. (t.th.). Ihya’ ‘Ulumuddin. Juz I. Kairo: Darus Sya’ab.
  5. Ash Shiddieqy, Hasbi. (1951). Pedoman Shalat. Jakarta: Bulan Bintang.
  6. Haryanto, Sentot. (2005). Psikologi Shalat. Cet. IV. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  7. Husain, ‘Imad ‘Ali “Abdus Sami’. (2006). Al Badru fi’l-Hatstsi ‘ala Sholati ‘l-Fajr (Keajaiban Shalat Subuh). Penterjemah: Muh. Syedayet, Mutsanna Abdul Qohhar, dan Muhammad Albani. Solo: WP.
  8. Nadvi, Syed Habibul Hal. (1982). The Dynamics of Islam. Durban: Academia.
  9. Nurdin, Muslim., dkk. (1993). Moral dan Kognii Islam. Bandung: Alfabeta.
  10. Rathomi, Moh. Abdai. (1987). Muhammad Beraudiensi dengan Tuhan. Surabaya: Bina Ilmu.
  11. Syathori, Minanul Aziz. (2000). (Penghimpun & Penerjemah). Masalah-Masalah Agama Hasil-Hasil Keputusan Muktamar 1 s/d 30 dan Munas Alim Ulama NU. Sragen: Darul Ilmi.


* Materi untuk Bimbingan Shalat Sivitas Akademika UNISSULA Semarang, 16 Juni 2006.

Tidak ada komentar: