Senin, 04 Mei 2009

PENDIDIKAN NILAI DAN EVALUASINYA

DALAM PERSPEKTIF SISDIKNAS[1]




Ahmad Rohani HM.[2]

  • Posisi nilai itu untuk menggerakkan perilaku (value-driven behaviors).
  • Permasalahannya adalah bagaimana pendidikan dapat mengembangkan perilaku-perilaku yang digerakkan oleh nilai?
  • Permasalahan yang lebih mendasar adalah, nilai apa yang seharunya dikembangkan oleh pendidikan nasional kita? Permasalahan ini dapat terjawab manakala pendidikan kita telah memiliki core values. Namun, kenyataan, hingga sekarang sistem pendidikan nasional kita, sejak tahun 1950-an hingga RUU Sisdiknas yang telah disetujui oleh DPR RI dan tengah menanti pengesahannya oleh Presiden RI, belum juga jelas nilai esensial (core value) mana yang harus dikembangkan. Dengan kata lain, basis nilai apa yang seharusnya menjadi pijakan pengembangan (pendidikan).
  • Di negara-negara maju, pendidikan berbasis pada core value, di AS misalnya pendidikan melayani individu, sementara di Jepang pendidikan menekankan pada tanggung jawab. Kerja kera, jujur, berih, dan tanggung jawab menjadi core values di Jepang.
  • Core values, nilai inti dan sentral, nilai esensial, merupakan basis nilai yang mencerminkan hasil konsensus nasional. ia

Ø harus dimiliki oleh siapapun

Ø sangat sulit untuk diubah oleh siapapun (nilai yang terkait dengan hidup, sementara nilai yang terkait dengan pengetahuan mudah diubah)

Ø given

Ø universal (setidaknya pada level bangsa)

Ø sumbernya bisa agama, bisa budaya

Ø jenis nilainya bisa maskulin atau feminin

Ø bisa giving values atau being values.

  • Karena itu, tidak heran bila siapapun yang menjadi menteri pendidikan, kebijakan pendidikan apapun yang ditelorkan, serta peraturan perundang-undangan pendidikan yang bagaimanapun yang dihasilkan, selalu aja tidak jelas ke mana arah pengembangan yang hendak dituju. Konsekuensinya, output pendidikan kita hingga sekarang tidak memiliki jati diri yang jelas. Ini terjadi karena, kita belum memiliki core values yang seharusnya dikembangkan
  • Bangsa Indonesia yang memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika, sadar benar akan kondisi plural dalam segala aspeknya. Sayang, kesadaran itu hingga sekarang ini belum juga menyentuh pada tataran konseptual yang esensial mengenai apa dan bagaimana membangun manusia Indonesia.

Pengertian Nilai

Arti nilai menurut Max Scheler (1966) sebagai kenyataan tersembunyi tetapi ia sungguh merupakan kenyataan yang benar-benar ada, bukan hanya kita anggap ada. Di banyak pustaka, kata W. Huitt (1999) nilai didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari gagasan ke tindakan-tindakan perilaku. Nilai sebagai kriteria untuk menentukan tingkat kebaikan, harga atau kebaikan. Nilai adalah bagian dari sistem afektif yang menjadi filter penting untuk memilih input dan menghubungkan pikiran dan perasaan untuk bertindak. Senada dengan Huitt, Linda & Eyre (1993) mengartikan nilai sebagai standar perbuatan dan sikap yang menentukan siapa kita, bagaimana kita hidup, bagaimana kita memperlakukan orang lain. Nilai bersifat positif, dihargai, dipelihara, diagungkan, dihormati, membuat orang menjadi gembira dan puas bersyukur (kepuasan rohani). Nilai merupakan kualitas yang menguntungkan orang lain maupun diri sendiri (individu) yang diberikan sebanyak yang diterima dan diterima sebanyak yang diberikan.

Banyak pengertian nilai tersebut di atas dapat dicermati: (1) nilai sebagai sesuatu yang abstrak, latent; (2) nilai bersifat ideal; (3) nilai momot kebaikan; (4) nilai mengandung kemanfaatan individu dan sosial (5) nilai berfungsi sebagai standar atau kriteria perilaku; (6) nilai ada untuk dilaksanakan manusia, dalam bentuk perilaku; (7) nilai terkandung dalam sistem afektif, terkait dengan kecerdasan emosional; (8) nilai memiliki tiga dimensi: (a) kognitif, preferensial dan konsekuensi; (b) afektif (menghargai) yakni melahirkan kebahagiaan atau keinginan yang terpuaskan karena disadari memiliki sesuatu yang baik bagi individu dan orang lain; (c) amalan (bertindak) yakni menyangkut perkembangan perilaku dan diulang-ulang. Nilai terbentang dalam rentangan: konseptualisasi nilai, komitmen, preferensi sebuah nilai, akseptensi suatu nilai, kepuasan dalam respon, dan keinginan merespon Krathwol, at al (1964).

Teori personalitas Spranger menunjukkan, kehidupan rohaniah seseorang adalah suatu struktur yang ditujukan kepada perwujudan norma atau nilai. Struktur ini dapat dipahami subjektif maupun objektif. Struktur subjektif adalah kehidupan rohaniah setiap individu. Struktur objektif adalah kehidupan super-individual. Kehidupan rohaniah individual baru bermakna bila dilihat sebagai bagian dari struktur super-individual, suatu kehidupan yang lebih tinggi dan terletak di luar individu. Kedua struktur tersebut merupakan bagian-bagian dari dunia nilai (Conny Semiawan Stambul, 1986).

Macam-macam Nilai

SCANS (the Secretary’s Commission on Achieving Necessary Skills, 1991) membedakan nilai menjadi 5 macam: tanggung jawab, harga diri, sosiabilitas, integritas, dan kejujuran. Sementara, Huitt (1997) membedakan nilai menjadi 10 macam: otonomi, kebajikan, keharuan (rasa iba), keberanian, sopan santun (rasa hormat), kejujuran, integritas, tanggung jawab, kepercayaan (amanah), kebenaran.

Linda & Eyre (1993) mendaftar ragam nilai menjadi 12 macam dan dikelompokkan menjadi 2 klaster: (1) nilai-nilai nurani (values of being) meliputi kejujuran, keberanian, cinta damai, keandalan diri (potensi), tahu batas, kemurnian, dan (2) nilai-nilai memberi (values of giving) meliputi setia (dapat dipercaya), hormat, cinta (kasih sayang), peka (tidak egois), baik hati (ramah), adil (murah hati).

Diknas (2001) mengidentifikasi perilaku dasar dan sikap sebagai nilai-nilai budi pekerti, menjadi 12 macam (untuk sekolah dasar: taat beragama, toleransi, disiplin diri, menghargai diri sendiri, tanggung jawab, potensi diri, cinta dan kasih sayang, kebersamaan dan gotong royong, kesetiakawanan, saling menghormati, tata karma dan sopan santun, dan kejujuran.

Sementara dalam naskah akademik Rancangan Undang-undang Pendidikan Nasional (2001), pada bab II Pendidikan Indonesia Masa Depan, Landasan Filosofis Pendidikan Nasional antara lain dinyatakan: Filsafat pendidikan nasional berakar pada nilai-nilai budaya yang terkandung dalam Pancasila… Dua pandangan yang dipertimbangkan dalam menentukan landasan filosofis pendidikan nasional Indonesia: (1) tentang manusia Indonesia (2) tentang pendidikan. Berdasarkan dua pandangan ini teridentifikasi beberapa nilai: manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berkembang segala potensinya, berkepribadian Indonesia yang kuat, bertanggung jawab (pada diri sendiri, masyarakat dan bangsa), (norma-norma agama) bermoral dan berakhlak mulia, (nilai-nilai budaya) keadilan dan peradaban, (norma, pembangunan karakter bangsa) persatuan dan menghargai perbedaan, (norma-norma kebangsaan) kerakyatan dan demokrasi, (nilai-nilai) keadilan social.

Ragam nilai itu sangat banyak, sebanyak harapan manusia menjadi baik (bermoral). Semakin banyak harapan manusia akan kebaikan semakin banyak nilai yang dibutuhkan. Pencermatan penulis, dari sejumlah ragam nilai dapat kelompokkan menjadi menjadi 2 klaster nilai: nilai-nilai individual dan nilai-nilai sosial. Nilai-nilai individual disebut pula nilai nurani (Linda & Eyre), struktur subjektif (Spranger), private morals (Noeng Muhadjir). Nilai-nilai sosial disebut dengan nilai memberi (Linda & Eyre), struktur objektif (Spranger), public morals (Noeng Muhadjir).

Sementara sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) dalam perspektif RUU yang belum lama disahkan oleh DPR RI, mengamanatkan 10 nilai yang harus dikembangkan dalam pendidikan nasional, yaitu: iman, taqwa, akhlak mulia, sehat, ilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis, dan tanggung jawab. Sayangnya tidak jelas, core value mana yang jadi umbrella bagi pendidikan nasional kita.

Pendidikan Nilai: Himpitan Schooling dan Learning Society

Pendidikan nilai memiliki peran strategis sebagai acuan dan alur transformasi kebudayaan nasional. Ia juga memiliki peran penting untuk memberikan karakteristik umum terhadap keanekaragaman agama, norma, adat istiadat, etnis, dan budaya lokal yang menjadi aset budaya nasional. Keanekaragaman ini sekaligus menjadi sumber dari pendidikan nilai.

Fritz K. Oser (1986) membedakan pendidikan nilai dan pendidikan moral dengan 3 argumen: (1) Pendidikan nilai menunjuk pada pengajaran nilai-nilai sosial, politik, agama, estetik, dan jenis nilai lainnya, sementara pendidikan moral umumnya menunjuk pada konsepsi kebenaran (keadilan) yang berorientasi universal dengan mengikuti Kantian; (2) Habermas membedakan 3 klas masalah terkait dengan implikasi 3 jenis klaim validitas yakni problems of facts and objective efficiency, problems of taste and subjective satisfactoriness, and problems of personal relating and social norms. Alasan Habermas…the power that allows people to make validity claims and dispute them in a reasonable manner so as to settle the dispute. The three classes of problems engender three types of validity claims:… the truth of a factual statement, the truthfulness of a subjective expression, and the rightness of an interpersonal relation; (3) Empirik, bahwa ada perbedaan moral domain dan social conventions yang specific values.

Ada berbagai pendidikan nilai antara lain realisasi nilai, pendidikan kewarganegaraan, dan pendidikan moral (Kirschenbaum, 1995 dalam darmiyati Zuhdi, 2000), pendidikan sejarah, pendidikan agama (akhlak), pendidikan budi pekerti, dan sebagainya. Semua pendidikan nilai baik yang diprogram (schooling) maupun yang dikondisikan (learning society), dimaksudkan sebagai sarana pengembangan hati nurani, proses penyadaran dan pemberdayaan hati nurani. Hati nurani bangsa kita harus di-refress, melalui pemberdayaan pendidikan nilai secara lebih efektif. Meminjam istilah Abdullah Gymnastiar (2001), pemrakarsa pesantren “Manajemen Qalbu” dan pengajian “Qalbun Salim”, sudah saatnya kita bertanya sejauhmana kita menjaga kebeningan hati dalam setiap langkah sehari-hari. Hati nurani atau “kata hati” itu pemancar nilai-nilai moral nuraniah-individual maupun nilai-nilai moral-sosial. Di Jepang dan Amerika Serikat perilaku bermoral begitu diperhatikan. Sekolah memberikan pengaruh utama terhadap perilaku moral anak. Demikian pula pengaruh keluarga (Tsunenobu Ban & William K. Cummins; 1999).

Dalam kerangka pendidikan nilai, learning society tidak kalah pentingnya dengan schooling. Learning society membangun (mengembangkan) situasi dan kondisi dengan sadar, di mana setiap individu dapat berperilaku baik dan saling membantu berperilaku baik. Oleh Noeng Muhadjir (2001) learning society diartikan sebagai program berkehidupan di manapun tempat, proses pembelajarannya lewat saling membantu untuk menjadi lebih pandai, lebih baik, dan aktif saling mengingatkan untuk tercegah dari perbuatan yang tidak baik. Learning society ini jumboh dengan semangat pendidikan lifelong education (Islam telah lebih dari 14 abad mengajarkan belajar sepanjang hidup) yang telah lama dikenal masyarakat Indonesia. Seperti juga di Jepang, yang tujuan pendidikan nasionalnya antara lain the completion of character of each individual, sejak tahun 1970-an diperkenalkan the lifelong learning movement. Bahkan lifelong learning menjadi master concept. Lifelong learning adalah masyarakat yang masing-masing warganya dapat dengan bebas memilih aneka kesempatan belajar, kapan saja sepanjang hidup. Diantara tujuannya to improving the quality of daily life (Kaoru Okamato, 1994).

Pendekatan pendidikan nilai setidaknya ada 5 macam: inkulkasi, pengembangan moral, analisis, klarifikasi nilai, dan belajar tindakan. Inkulkasi melibatkan beberapa metode antara lain modeling, penguatan positif dan negatif, manipulasi pilihan, permainan dan simulasi, bermain peran. Pengembangan moral metodenya antara lain dilema moral, jawaban terstruktur dan argumentatif. Analisis dapat menggunakan metode diskusi rasional terstruktur analisis kasus analogi, riset dan debat. Klarifikasi nilai metodenya bermain peran, simulasi, situasi nilai-laden dan riil, latihan analisis diri mendalam, kegiatan sensitivitas, diskusi kelompok. Belajar tindakan metodenya sebagaimana dalam klarifikasi nilai, ditambah metode proyek, dan praktik keterampilan mengorganisasikan kelompok dan hubungan interpersonal (W. Huitt, 1997). Kelima pendekatan pendidikan nilai tersebut semua digunakan dalam desain kurikulum budi pekerti yang berbasis kompetensi (Diknas, 2001).
















[1] Makalah dipresentasikan dalam Seminar Pendidikan Nilai Dalam Sisdiknas Tinjauan Proses dan Evaluasinya diselenggarakan oleh Fakultas Agama Islam Universitas Islam Sultan Agung Semarang Tanggal 07 Agustus 2003.

[2] Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

Tidak ada komentar: