Senin, 04 Mei 2009

Identifikasi Nilai-Nilai Moral Individual dan Kolektif

Pada Anak Usia Remaja (Poskonvensional)

Fungsi Schooling dan Learning Society[1]

---------------------------------------------------------------------------

Ahmad Rohani HM.[2]

  1. Globalisasi dan Postmodernisme

Globalisasi menunjuk sebagai perkembangan lembaga-lembaga internasional (International dimaknai sebagai “inter-nation-state”) yang secara krusial dibentuk oleh teknologi-teknologi komunikasi modern, teknologi informasi dan transportasi, yang secara signifikan menimbulkan suatu proses bersama (Nigel Dower, 1997). Pertama dan yang utama era globalisasi dipicu oleh perkembangan ekonomi global – perusahaan-perusaan transnasional, kesepakatan perdagangan internasional yang kompleks, pasar global, kultur pasar bebas yang merambah ke semua belahan dunia, pengaruh luas pada lingkungan kegiatan global dalam suatu negara – menjadi mungkin di bagian melalui perkembangan dalam komunikasi global, sistem transportasi dan teknologi-teknologi umumnya.

Perkembangan selanjutnya difasilitasi oleh perubahan lain, cara berfikir orang melebihi kitaran masyarakat mereka sendiri, apakah melalui internet, komunikasi massa, atau yang lainnya. Daniel Bell (awal 1970-an) menyatakan bahwa era industrial telah berakhir. Order sosial baru sedang muncul, pengetahuan dan informasi sedang menggantikan produksi komoditas industri sebagai prinsip aksial organisasi sosial. Dua dekade silam tidak hanya telah berlalu tetapi juga telah berakhir seketika itu, 24 jam dunia informasi ( Charles Jencks dalam Val D. Rust, 1991).

Alvin Toffler dalam Future Shock menyatakan telah terjadi revolusi besar-besaran yang dinamakan the Third Wave yaitu revolusi informasi melalui teknologi media massa, telekomunikasi dan computer (televise, satelit, video, fax, mobile phone, internet, dsb.). Pada era informasi ini, semua informasi bisa masuk sampai ke kamar-kamar tidur melalui teknologi media massa itu. Tidak ada lagi yang rahasia… (Sarlito W. Sarwono, 2002). Perubahan supercepat yang mendunia ini oleh Charles Jencks dinamakan postmodernism (posmo), dimulai tahun 1960-an, biang keladinya adalah electronic economy & instant communication network. Dampaknya tidak adanya lagi kepastian atau keteraturan dalam hampir semua sektor kehidupan (Jencks menunjukkannya dalam art dan arsitektur). Satu-satunya kepastian posmo adalah ketidakpastian itu sendiri, dan satu-satunya keteraturan adalah perubahan itu sendiri.

Karakter sentral postmodern bukan dekonstruk, melainkan kebebasan untuk menjadi kritis-kreatif, divergen. Posmo hendak mengembalikan rasionalitas yang telah direduksi menjadi efisien pragmatic kepada rasionalitas yang utuh, serta peluang kebebasan berfikir. Posmo menuntut kebebasan yang bukan avonturisme, melainkan kebebasan untuk memenuhi tuntutan hakiki manusia untuk bebas dari pengaturan-pengaturan yang menjadi pengikat cara telaah maupun objek telaah (Noeng Muhadjir, 2001).

Era globalisasi membawa banyak dampak nilai-nilai moral antara lain persaingan (competitiveness), semangat mengalahkan…, survival for the fittest, selektivitas (selectivity), eksklusif (exclusive), blok-blokan (polarized) dan kepentingan-kepentingan (dominant interest), KKN, target & predetermination, konflik (conflict), kehidupan masyarakat terpolarisasi secara hirarkis (hierarchy) dan tak demokratis, kebenaran diukur dari penguasa, paralogi mora (moral paralogy). Sementara posmo mengibarkan nilai kebebasan dan relativisme dan pluralisme. Terkait dampak globalisasi yang demikian, Niger Dower memandang perlu hadirnya etik global atau etik dunia. Etik global berupa nilai-nilai universal dan tanggung jawab kosmopolitan yang tercakup dalam seperangkat nilai-nilai dan norma-norma mencakup elemen-elemen dasar well-being dan aturan-aturan dasar moral mengenai kerjasama sosial (konsisten dengan pluralitas nilai-nilai yang lain). Ia memiliki 2 komponen (1) seperangkat nilai-nilai dan norma-norma universal, sense of being secara universal aplikabel terhadap seluruh human being (2) seperangkat tanggung jawab atau kewajiban (obligation) dalam lingkup global, tanggung jawab terhadap seluruh umat manusia pada prinsipnya. Norma-norma universal antara lain: truth-telling, justice, dan non-violance.

Bahwa era globalisasi perlu disikapi. Perlu telaah ulang terhadap nilai-nilai yang berkembang pada era globalisasi. Nilai-nilai baru yang lebih kondusif sangat diperlukan bagi masyarakat pluralistik di masa depan, khususnya anak-anak. Mempersiapkan dan membekali nilai-nilai moral yang sesuai dengan jamannya sangat dibutuhkan. Ini tugas dan tanggung jawab semua, terutama para pendidik (orang tua, guru, dan pendidik informal). Lembaga-lembaga moral, apakah schooling atau learning society harus difungsikan optimal. Paradigma pendidikan (tradisional) yang otoriter, universal, dan tanpa alternatif mesti diperbarui. Paradigma pendidikan era sekarang harus berorientasi pada pengembangan potensi anak sendiri, menekankan kemandirian, menyajikan banyak alternatif sekaligus memingkinkan anak untuk membuat penilaian dan keputusan sendiri, kontekstual, memungkinkan anak untuk think globally act locally (meminjam istilah Noeng Muhadjir, 2002). Pendek kata, paradigma pendidikan yang baru harus dapat mengakomodasi berbagai aspek pengembangan yang mencakup to know, to do dan to be, dan to live together.

  1. Analisis Fungsional
    1. Teori Fungsional sebagai Pisau Analisis

Konsep fungsi merupakan alat atau cara membicarakan organisme (sistem, lembaga) sebagai sistem-sistem yang berproses secara mandiri dalam satu keadaan tanpa mengemukakan adanya suatu maksud atau rancangan yang disadari (Duncan Mitchel). Fungsionalisme struktural merupakan salah satu para digma fakta sosial yang dikenal dalam sosiologi. Analisis fungsional diadopsi dari biologi. Bagi penganut fungsionalisme, analisis fungsional digunakan untuk meneliti kegunaan lembaga-lembaga sosial dan struktur sosial dalam masyarakat. Sebagai metode penting dalam sosiologi, fungsionalisme memiliki pendirian pokok bahwa unsur-unsur yang membentuk masyarakat mempunyai hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi, masing-masing mempunyai fungsi tersendiri terhadap masyarakat. Di antara banyak sosiolog, Talcott Parsons dan Robert K. Merton adalah yang melaksanakan pendekatan fungsional terhadap masyarakat. Analisis fungsionalisme struktural yang paling sempurna sampai saat ini adalah dari Merton murid Parsons (Noeng Muhadjir, 2001).

Lauer (1977) menyebutkan 7 asumsi teori fungsional: (1) masyarakat harus dianalisis sebagai satu kesatuan yang utuh (holistik) yang terdiri dari berbagai bagian yang saling berinteraksi; (2) hubungan yang ada bisa bersifat satu arah atau bersifat timbal balik (3) sistem sosial yang ada bersifat dinamis (4) integrasi yang sempurna di masyarakat tak pernah ada oleh karenanya selalu timbul ketegangan dan penyimpangan tetapi hal ini akan dinetralisasi lewat proses pelembagaan (5) perubahan akan berjalan secara gradual dan evolutif sebagi suatu proses adaptasi dan penyesuaian (6) perubahan adalah hasil penyesuaian dari luar karena diferensiasi dan inovasi (sistem terintegrasikan lewat pemilikan nilai-nilai yang sama.

Masyarakat sebagai sistem memiliki struktur yang meliputi banyak bagian lembaga, masing-masing lembaga memiliki fungsi tersendiri. Struktur itu sendiri bersifat statik, tetapi fungsi bersifat dinamik karena diwujudkan dalam peran-peran aktor dalam lembaga. Dalam struktur (pelapisan) terdapat 2 elemen penting yakni status (kedudukan) dan roles (peranan). Yang terakhir inilah sesunggunya yang menjalankan fungsi. Peranan setidaknya mencakup 3 hal: (1) norma atau rangkaian peraturan sebagai pembimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat; (2) konsep tentang apa yang dapat dilakukan individu dalam masyarakat sebagai organisasi; (3) perikelakuan individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.

Contoh: schooling (sekolah) secara mikro merupakan lembaga (bagian) dari sistem masyarakat secara keseluruhan. Ia memiliki fungsi sebagai lembaga akademik, lembaga moral, serta lembaga pengembangan personal dan sosial. Pelaksanaannya diperankan (difungsikan) oleh banyak aktor sekolah khususnya guru. Di sekolah dan ruang-ruang kelas, para siswa belajar tiga jenis kegiatan (1) belajar akademik, (2) belajar moral, dan (3) belajar personal dan sosial (Suyata, 2002). Dalam sistem learning society, seperti keluarga merupakan lembaga moral yang memiliki fungsi penting bagi pengembangan moral anak. Persemaian moralitas anak seharusnya terjadi dalam keluarga, utamanya orang tua merupakan aktor penting dalam menjalankan fungsi keluarga sebagai lembaga pendidikan dan moral.

Melalui sistem schooling maupun learning society, interaksi sosial terjadi. Dalam interaksi sosial ada kontak sosial dan komunikasi, terjadi pula imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati. Kontak sosial dapat berlangsung dalam 3 bentuk: (1) orang perorang (anak mempelajari kebiasaan dalam keluarga, disebut sosialisasi); (2) antara orang perorang dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya; (3) antar kelompok. Kontak sosial bisa bersifat langsung atau tak langsung, bisa dalam bentuk kerjasama, persaingan, atau pertentangan.

Teori fungsional dari segi sistem memiliki dasar berpijak yang kuat. Ia menggunakan pendekatan yang holistik yang memandang sistem sosial secara keseluruhan akan hidup bila terdapat integrasi secara fungsional antar bagian dalam sistem. Asumsinya, pada dasarnya sistem sosial itu secara keseluruhan selalu stabil, bila salah satu atau beberapa bagian dari sistem kehidupannya tidak beres akan bisa mengganggu berfungsinya bagian yang lain yang pada akhirnya mengganggu keseluruhannya. Teori ini menghendaki perubahan secara gradual, evolusioner, tidak radikal. Persoalannya adakah teori ini relevan sebagai pisau analisis fenomena (kelembagaan) sosial di era globalisasi dan posmo ? Pertanyaan inilah yang mendorong penulis untuk mengangkat teori fungsional sebagai pisau analisis terkait dengan masalah schooling dan learning society sebagai lembaga pendidikan dan lembaga moral. Apakah teori fungsional (analisis fungsional) mampu dan masih relevan. Jika ternyata masih relevan, pada dataran mana ia dapat digunakan ? Teori fungsional sering dikritik seolah-olah dalam masyarakat tak dibenarkan adanya perbedaan kepentingan dalam nilai-nilai, keyakinan dan pendapat pribadi. Tetapi, justru dalam masyarakat yang menggunakan teori fungsional, sistemnya memberikan kebebasan untuk memiliki perbedaan. Prinsip konsensus lahir karena adanya kebutuhan untuk menyatukan pendapat dan perbedaan kepentingan.

    1. Robert K. Merton: Fungsionalisme Struktural

Sementara itu, Merton mengetengahkan paradigma analisis fungsional dengan 3 postulat: (1) di samping ada kesatuan fungsional, terdapat situasi disfungsi; (2) semua bentuk budaya dan bentuk sosial baku mempunyai fungsi universal positif. Untuk menjaga keseimbangan sosial perlu dicari fungsi positif primer dan fungsi negatif primer; (3) setiap peradaban, adat-istiadat dan kebiasaan mempunyai fungsi esensial mutlak terhadap pencapaian tujuan keseluruhan sistem sosial (Noeng Muhadjir, 2001).

Menurut Merton (John Hamlin, 2001) analisis fungsional: (1) dimulai dengan deskripsi aktivitas mengenai alternatif-alternatif apa yang dikeluarkan oleh eksistensi sebab (bagian) ? apakah mungkin fungsi-fungsi ?; (2) penilaian makna anggota-anggota kelompok, ini bisa memberi indikasi motif-motif bagi aktor-aktor yang dengan demikian menunjukkan fungsi kentara.; (3) apakah motif-motif untuk konformitas atau deviasi; (4) bagaimana pola-pola kesukariaan peraturan-peraturan yang tak disadari – tidak dikenali terhadap partisipan-partisipan (fungsi tersembunyi).

Maksud-maksud manusia dapat diarahkan kepada banyak tujuan, bisa untuk mengekalkan eksistensi suatu masyarakat, tetapi besar kemungkinan maksud-maksud itu ditujukan ke arah motivasi individu ataupun bagian. Sebagian maksud serupa dengan fungsi. Terkait dengan ini Merton (1949, 51) membedakannya menjadi 2 jenis: (1) fungsi yang wujud (manifest functions), akibat-akibat objektif yang mengarah pada penyesuaian atau pemadanan sistem itu yang diniatkan dan diakui oleh aktor di dalam system; (2) fungsi terpendam, fungsi tersembunyi (latent functions), yakni fungsi-fungsi yang tidak diniatkan dan tidak diakui. Pengenalan Merton atas istilah manifest functions dan latent functions tampaknya diadopsi dari Freud, tetapi Francis Bacon telah lama menggunakan istilah latent process dan latent configuration). Dapat dicontohkan: Para orang tua mamacu anak-anaknya dengan tujuan supaya anak-anaknya berprestasi tinggi di sekolah, bila perlu menyediakan dana ekstra untuk mengikutsertakan anak-anaknya mengikuti bimbingan belajar. Fungsi wujudnya, orang tua memacu anak-anak agar mereka berprestasi tinggi, fungsi tersembunynya, dengan berprestasi tinggi orang tua merasa bangga, eksistensi dan citra orang tua (keluarga) terangkat, diakui secara sosial.

Merton dalam George Ritzer (1996) mengatakan: interaksi antara person dan social order complex adalah terjadi, fakta bahwa norma-norma situasi tak selalu koheren dan harmonis. Fenomena ini sebagai ambivalensi sosiologis. Bagi Merton, individu harus memperoleh orientasi antara norma-norma ganda, incompatible, dan kontradiktori. Aspek terpenting adalah perbedaan antara latent levels dan manifest levels struktur sosial sebagaimana perbedaan antara manifest & latent functions. Kesimpulan Merton adalah bahwa struktur sosial yang kelihatannya sederhana ternyata adalah sangat kompleks. Hubungan antara person dan social order adalah dinamik. Artinya, secara rutin menghasilkan 2 macam perubahan: (1) perubahan dalam struktur sosial (2) dan perubahan struktur sosial. Yang pertama melibatkan proses adaptif yang menghasilkan kembali kedudukan struktur sosial tertentu. atau setidaknya penyimpangannya di dalam batasan yang memberi struktur identitasnya. Proses adaptif ini mengikuti logika umpan balik negatif, memperbaiki penyimpangan dan mengurangi jumlah konflik yang dikemukakan dengan orang-orang yang menduduki status. Yang kedua, transformasi struktur sosial melalui amplification (penguatan) daripada counteraction, umpan baliknya positif daripada negatif. Kebanyakan fase transformatif suatu struktur sosial datang ketika frekuensi penyimpangan memuncak, tetapi keberhasilan perilaku cenderung kurang dan eliminasi legitimasi norma-norma kelembagaan dalam sistem.

  1. Moralitas
    1. Moralitas: Individu dan Masyarakat

Pada dasarnya manusia (individu) adalah makhluk bermoral. Artinya, sejak dari lahirnya manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat baik (hati nurani, fitrah). Dalam perjalanan hidupnya ia berinteraksi dengan lingkungan (dalam arti luas) di mana pun ia hidup. Melalui lingkungan inilah individu memperoleh pengalaman, belajar, bagimana berperilaku yang baik. Perilaku yang baik, secara fungsional bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain (masyarakat). Individu yang baik, adalah individu yang menjunjung tinggi, mengagungkan, dan menguasai nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Perwujudan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan sehari-hari sering disebut dengan moralitas yang diyakini banyak orang sebagai benar dan terbukti bermanfaat bagi diri sendiri maupun masyarakat. Selain individu itu sendiri, keluarga, sekolah, dan masyarakat sebagai lembaga pendidikan dan lembaga moral bertanggung jawab untuk mengembangkan moralitas individu. Idealnya, Berkembangnya moralitas individu dengan sendirinya berkembang pula moralitas masyarakat, karena masyarakat merupakan kumpulan dari individu-individu.

Masyarakat (bangsa) yang kokoh adalah jika satuan warganya bermoral kokoh. Indonesia, negeri yang telah lebih setengah abad merdeka tetapi belum mampu tunjuk muka sebagai bangsa merdeka yang bermoral kokoh, terbukti ketika menghadapi krisis satu dimensi pembangunan (ekonomi) tidak dapat kunjung selesai bahkan justru menimbulkan dan merambah pada krisis multi dimensi. Jika dirunut-sadar, ujungnya adalah pada moralitas bangsa yang tidak kokoh, khususnya para pengurus negara.

    1. Teori-teori Moral

Moral itu sesuatu yang terkait dengan ajaran dan perilaku kebenaran dan kebaikan, atau kesusilaan, yang diterima umum, diyakini banyak orang sebagai benar dan terbukti bermanfaat bagi diri sendiri maupun masyarakat. Nilai moral adalah standar perbuatan dan sikap yang menentukan siapa kita, bagaimana kita hidup, bagaimana kita memperlakukan orang lain. Sumber nilai moral bervariasi, mungkin agama, ideology negara, adat istiadat, atau lainnya.

Noeng Muhadjir (2001; 278-281) mengelompokkan tindakan benar yang baik dibedakan menjadi 4: conduct (sebagai pedoman perilaku), virtues (sebagai watak pribadi terpuji), practical values (moral praktis), dan living values (nilai moral hidup). Menurut Noeng, RM.W. Martin dan Schinzinger (1989) mengelompokkan tindakan benar yang baik ke dalam 4 teori (menurut Noeng sebagai 4 tipe tematik yang nuansif):

i. Penganut teori utilitarian, seperti Mill dan Brandt: tindakan benar yang baik adalah tindakan yang menghasilkan kebaikan pada lebih banyak orang. Tindakan yang benar adalah tindakan yang memberikan kebahagiaan (kesenangan dan terhindar dari rasa sakit). Tujuan akhir moral baik: rasa senang (bukan sekedar terbatas seperti pada binatang), termasuk rasa senang yang obligatori.

Teori etik utilitarianisme John Stuart Mill (1806-1873) awalnya di tulis di Fraser’s Magazine (1861) kemudian dibukukan pada tahun 1863. Pada bab I Mill membagi teori moral menjadi 2 pendekatan: the intuitive and inductive schools. Pada bab II ia menjelaskan arti utilitarianism sebagai prinsip normative: actions are right in proportion as they tend to promote happiness; wrong as they tend to produce the reverse of happiness. Happiness maksudnya kesenangan (rasa senang) baik intelektual maupun sensual.

Evaluasi Noeng: teori ini pragmatis dan mengabaikan minoritas. Evaluasi Penulis: teori ini dapat disebut sebagai teori manfaat, mencakup aspek kognitif, afektif, sekaligus amaliah. Tidak secara eksplisit mengabaikan minoritas sebagaimana evaluasi Noeng. Bisa disimak dari pernyataan teori ini dalam:

http://www.utm.edu/research/iepe/e/ethics.htm: Ethics [Internet Encyclopedia of Philosophy]: Tindakan benar secara moral jika konsekuensi tindakan itu lebih mendukung daripada yang tidak mendukung bagi setiap orang.

Termasuk konsekuensialisme, selain utilitarianism adalah ethical egoism dan ethical altruism. Menurut egoisme tindakan yang benar secara moral jika konsekuensi tindakan itu lebih mendukung daripada yang tidak mendukung hanya untuk agen yang melakukan tindakan. Egoisme etik ini paralel dengan teori hak asasi John Locke. Sementara menurut altruism, tindakan yang benar secara moral jika konsekuensi tindakan lebih mendukung daripada yang tidak mendukung, untuk setiap orang kecuali agen. Altruisme ini mengorbankan kepentingan individu.

ii. Immanuel Kant: manusia berkewajiban melaksanakan moral imperatif. Pada satu sisi, dengan moral imperative, manusia masing-masing bertindak baik, bukan karena ada pemaksaan, melainkan karena sadar tindakan tidak baik orang lain, mungkin merugikan kita. Pada sisi lain, dengan moral imperative semua orang menjadi saling mengakui otonominya. Evaluasi Noeng: teori ini ideal, menuntut kesadaran tinggi masyarakat. Ini sebaiknya dikonseptualisasikan dalam bentuk moral imperative sebagaimana Rawls.

iii. Teori etika hak asasi manusia. Menurut John Locke hak asasi ditafsirkan sangat individualistic. Hak kebebasan individual, pada hak negatifnya menjadi tidak mencampuri kehidupan orang lain. A.I. Melden (1977): hak moral kebebasan individu mempunyai saling keterkaitan antar individu, sehingga hak atas kebaikan komunitas dibutuhkan. John Rawls dengan theory of justice-nya mensintesakan teori kedua dan ketiga. Menurut Rawls ada dua teori keadilan yakni: (1) setiap orang memiliki persamaan hak atas kebebasan yang sangat luas hingga kompatibel dengan hak kebebasan orang lain (2) ketidaksamaan social dan ekonomi ditata sedemikian sehingga keduanya (social & ekonomi): (a) menjadi bermanfaat bagi setiap orang sesuai harapan yang patut (b) memberi peluang yang sama bagi semua untuk segala posisi dan jabatan. Evaluasi Noeng: teori ketiga ini individualistic, harus ditinggalkan. Dan disarankan mengikuti Melden yang menampilkan kebebasan individu untuk menyuarakan hak individunya sekaligus diakui hak untuk menyuarakan komunitasnya

iv. Teori keutamaan dan jalan tengah yang baik. Menurut Aristoteles tendensi memilih jalan tengah yang baik antara terlalu banyak (ekses) dengan terlalu sedikit (defisiensi). Keberanian merupakan jalan tengah antara kenekatan dan kepengecutan. Kejujuran merupakan jalan tengah antara membukakan segala yang menghancurkan dengan menyembunyikan segala sesuatu. Teori ini disebut sebagai teori keutamaan moral. Evaluasi Noeng: Teori ini diarahkan pada konteks komunal dan mencakup kebaikan fisik dan nonfisik.

Penulis berpendapat bahwa semua teori moral di atas termasuk dalam normative ethics yang berbicara pada dataran konseptual mengenai standar moral yang mengatur tingkah laku yang benar dan yang salah. Asumsi pokok etik normatif adalah hanya satu kriteria akhir tingkah laku moral, apakah ia hukum tunggal atau sejumlah prinsip. Masalahnya adalah bahwa para filosuf (ilmuwan etik) tak sepakat mengenai kriteria (standar) yang mana yang harus dipakai.

Metaetik (konseptual filosofi), dan etik normatif (konseptual teoretik) sebagaimana teori-teori di atas dipandang penting untuk mengembangkan applied ethics pada dataran yang lebih operasional-instrumental dengan memperhatikan berbagai isu moral kontekstual serta mempertimbangkan bagi kepentingan kehidupan, individu maupun masyarakat.

Selain teori-teori moral di atas, masih banyak teori-teori moral lainnya. Dapat disinggung misalnya:

a. Rasionalisme moral: terapan teori-teori moral yang menekankan kegunaan reason, argumen atau prosedur rasional dalam membuat keputusan. Ini Plato, menganjurkan pembuatan keputusan moral meliputi intuisi rasional prinsip-prinsip moral.

b. Dilema moral: suatu situasi di mana agen hanya memiliki 2 jalan tersedianya tindakan, dan masing-masing menuntut melakukan tindakan yang impermissible secara moral. Dengan kata lain, dilema adalah situasi yang meliputi suatu pilihan antara 2 jalan tindakan yang berlainan, di mana pertimbangan moral membantu setiap jalan tindakan. Kebaikan intrinsik yang tertinggi menjadi dasar penting menghadapi dilema moral. Secara teoretik, jika kita menentukan kesenangan, misalnya, sebagai kebaikan intrinsik yang paling tinggi, maka dalam menghadapi konflik kewajiban moral dan memutuskan tindakan moral tentunya yang paling dapat menghadirkan kesenangan (kebahagiaan). Jika kehendak Allah ditentukan sebagai kebaikan intrinsik yang paling tinggi, maka prioritas yang harus dipilih untuk memutuskan tindakan adalah kebaikan menurut kehendak Allah. Jadi, melokasikan kebaikan intrinsik yang paling tinggi, dilema moral dipecahkan dengan mengacu pada konsep itu.

c. Emosivisme: teori ini menentang teori dilema moral. Emosivisme, pengikuti jejak Hume, menolak reason dalam mendukung emosi. Menurut emosivist, seperti C.L. Stevensons, ketika kita membuat ungkapan-ungkapan moral, makna yang terpenting adalah kita melaporkan dan mengekspresikan feelings kita.

Evaluasi penulis, ketiga teori yang terakhir tersebut dapat dikelompokkan dalam applied ethics, dan lebih merupakan sebagai pendekatan pengembangan moral daripada sebagai teori yang konseptual-teoretik. Rasionalisme moral dan dilema moral sama-sama menekankan pentingnya peran reason, hanya pada dilema moral melibatkan kebaikan intrinsik tertinggi. Permasalahannya ketika menentukan prioritas kebaikan intrinsik tertinggi, sifatnya menjadi relatif-subjektif, sangat tergantung pada metaetik dan etik normatif yang dipegangi.

Ada lagi teori moral selain yang di atas, yaitu moral reasoning (pertimbangan moral) yang paralel dengan legal reasoning. Dimulai dari pengumpulan fakta-fakta yang relevan, mempertimbangkan reason atas isu-isu moral yang terjadi dan kemudian membuat keputusan moral. Pada abad 18, filosuf Inggris David Hume mengkritik moral reasoning dalam karyanya Treatise of Human Nature (1740) dan An Enquiry Concerning the Principles of Morals (1751).

Pandangan moral Hume didasarkan atas rational judgment. Menurutnya, peranan argumen dalam keputusan moral sangat terbatas, dan bahwa pengesahan moral hanya feeling dalam pikiran (pertimbangan) orang yang membuat moral judgment (keputusan moral).

Hume melancarkan 5 kritik terhadap pernyataan moral sebagai judgment of reason: (1) argumen yang didasarkan pada fungsi restriktif rasional kita itu general (2) bahwa pernyataan moral tidak sejajar argumen logika dan matematik (3) pernyataan moral lebih sejajar dengan pernyataan estetik kita mengenai kecantikan, yang jelas-jelas feeling dan bukan rational judgment (4) pernyataan moral tidak dapat menghasilkan keputusan mengenai hubungan, sebab kita mendapati secara eksak hubungan abstrak yang sama, baik dalam situasi moral maupun situasi nonmoral (5) pernyataan moral tidak dapat menghasilkan keputusan rasional, sebab semua tindakan moral tujuan akhir dan fundamental adalah kebahagiaan.

  1. Macam-macam Nilai Moral
    1. Pengertian Nilai

Arti nilai menurut Max Scheler (1966) sebagai kenyataan tersembunyi tetapi ia sungguh merupakan kenyataan yang benar-benar ada, bukan hanya kita anggap ada. Di banyak pustaka, kata W. Huitt (1999) nilai didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari gagasan ke tindakan-tindakan perilaku. Nilai sebagai kriteria untuk menentukan tingkat kebaikan, harga atau kebaikan. Nilai adalah bagian dari sistem afektif yang menjadi filter penting untuk memilih input dan menghubungkan pikiran dan perasaan untuk bertindak. Senada dengan Huitt, Linda & Eyre (1993) mengartikan nilai sebagai standar perbuatan dan sikap yang menentukan siapa kita, bagaimana kita hidup, bagaimana kita memperlakukan orang lain. Nilai bersifat positif, dihargai, dipelihara, diagungkan, dihormati, membuat orang menjadi gembira dan puas bersyukur (kepuasan rohani). Nilai merupakan kualitas yang menguntungkan orang lain maupun diri sendiri (individu) yang diberikan sebanyak yang diterima dan diterima sebanyak yang diberikan.

Banyak pengertian nilai tersebut di atas dapat dicermati: (1) nilai sebagai sesuatu yang abstrak, latent; (2) nilai bersifat ideal; (3) nilai momot kebaikan; (4) nilai mengandung kemanfaatan individu dan sosial (5) nilai berfungsi sebagai standar atau kriteria perilaku; (6) nilai ada untuk dilaksanakan manusia, dalam bentuk perilaku; (7) nilai terkandung dalam sistem afektif, terkait dengan kecerdasan emosional (Darmiyati Zuhdi, 2001); (8) nilai memiliki tiga dimensi: (a) kognitif, preferensial dan konsekuensi; (b) afektif (menghargai) yakni melahirkan kebahagiaan atau keinginan yang terpuaskan karena disadari memiliki sesuatu yang baik bagi individu dan orang lain; (c) amalan (bertindak) yakni menyangkut perkembangan perilaku dan diulang-ulang. Nilai terbentang dalam rentangan: konseptualisasi nilai, komitmen, preferensi sebuah nilai, akseptensi suatu nilai, kepuasan dalam respon, dan keinginan merespon Krathwol, at al (1964).

Teori personalitas Spranger menunjukkan, kehidupan rohaniah seseorang adalah suatu struktur yang ditujukan kepada perwujudan norma atau nilai. Struktur ini dapat dipahami subjektif maupun objektif. Struktur subjektif adalah kehidupan rohaniah setiap individu. Struktur objektif adalah kehidupan super-individual. Kehidupan rohaniah individual baru bermakna bila dilihat sebagai bagian dari struktur super-individual, suatu kehidupan yang lebih tinggi dan terletak di luar individu. Kedua struktur tersebut merupakan bagian-bagian dari dunia nila Conny Semiawan Stambul (1986)

    1. Macam-macam Nilai

SCANS (the Secretary’s Commission on Achieving Necessary Skills, 1991) membedakan nilai menjadi 5 macam: tanggung jawab, harga diri, sosiabilitas, integritas, dan kejujuran. Sementara, Huitt (1997) membedakan nilai menjadi 10 macam: otonomi, kebajikan, keharuan (rasa iba), keberanian, sopan santun (rasa hormat), kejujuran, integritas, tanggung jawab, kepercayaan (amanah), kebenaran.

Linda & Eyre (1993) mendaftar ragam nilai menjadi 12 macam dan dikelompokkan menjadi 2 klaster: (1) nilai-nilai nurani (values of being) meliputi kejujuran, keberanian, cinta damai, keandalan diri (potensi), tahu batas, kemurnian, dan (2) nilai-nilai memberi (values of giving) meliputi setia (dapat dipercaya), hormat, cinta (kasih sayang), peka (tidak egois), baik hati (ramah), adil (murah hati).

Diknas (2001) mengidentifikasi perilaku dasar dan sikap sebagai nilai-nilai budi pekerti, menjadi 12 macam (untuk sekolah dasar_: taat beragama, toleransi, disiplin diri, menghargai diri sendiri, tanggung jawab, potensi diri, cinta dan kasih sayang, kebersamaan dan gotong royong, kesetiakawanan, saling menghormati, tata karma dan sopan santun, dan kejujuran.

Aneka ragam nilai sebagaimana di atas menunjukkan bahwa nilai itu sangat banyak, sebanyak harapan manusia menjadi baik (bermoral). Semakin banyak harapan manusia akan kebaikan semakin banyak nilai yang dibutuhkan. Pencermatan penulis, dari sejumlah ragam nilai di atas dapat kelompokkan menjadi menjadi 2 klaster nilai: nilai-nilai individual dan nilai-nilai sosial. Nilai-nilai individual disebut pula nilai nurani (Linda & Eyre), struktur subjektif (Spranger), private morals (Nung Muhadjir). Nilai-nilai sosial disebut dengan nilai memberi (Linda & Eyre), struktur objektif (Spranger), public morals (Nung Muhadjir).

  1. Nilai-nilai Moral

Moral, seuatu yang terkait dengan ajaran dan perilaku kebaikan, kesusilaan yang diterima umum. diyakini banyak orang sebagai benar dan terbukti bermanfaat bagi diri sendiri maupun masyarakat Nilai moral adalah standar perbuatan dan sikap yang menentukan siapa kita, bagaimana kita hidup, bagaimana kita memperlakukan orang lain. Sumber nilai moral bisa agama, adat istiadat, yang diajarkan melalui pendidikan nilai.

Tidak semua ragam nilai yang disebutkan di atas termasuk sebagai nilai moral. Moral merupakan bagian dari nilai, lebih spesifik, terkait dengan perilaku susila, akhlak, budi pekerti, dan hati nurani.

Nilai pengertiannya sangat umum dan luas. Dalam kajian ini penulis lebih memfokuskan pada nilai-nilai moral, baik nilai-nilai moral nurani (individual, private morals) maupun nilai-nilai moral memberi (sosial, public morals). Kejujuran, disiplin diri, cinta damai adalah contoh moral individual. Adil, tanggung jawab, kasiha sayang, ramah, lapang dada, adalah contoh dari moral sosial. Nilai moral individual sebagai kualitas dalam diri seseorang (being) yang menentukan perilaku dan cara seseorang memperlakukan orang lain. Nilai moral sosial berawal ketika seseorang memberi (giving) kepada orang lain dan selanjutnya berpengaruh pada individu.

Karl Popper dengan Realisme Metaphisiknya meyakini moral adalah fakta konstruktif, ia sebagai sesuatu yang objektif universal. Objektif karena kebenarannya bebas, independen dari subjektivitas individual. Universal karena bebas dari kasus, tempat dan waktu. Oleh Noeng Muhadjir (2001), moral objektif-universal dari Popper dimodifikasi dengan pengakuan adanya kebenaran transcendental selain pengakuan moral etik yang objektif universal. Rasionalitas benar pada dataran transenden menjadi rasionalitas berhikmah, penuh rahmah, penuh maghfirah.

Nilai yang diwujudkan dalam bentuk perilaku disebut moralitas. Moralitas merupakan perilaku yang diyakini banyak orang sebagai benar dan sudah terbukti tidak menyusahkan orang lain (Linda & Eyre).

Dalam konteks Islam, moralitas objektif disebut akhlak (standar nilainya ajaran Islam) yaitu suatu bentuk batin yang tertanam dalam jiwa seseorang yang mendorong ia berbuat atau bertindak bukan karena suatu pemikiran dan bukan karena suatu pertimbangan; atau sebagai kebiasaan kehendak.

Moralitas sering disebut sebagai budi pekerti yaitu nilai-nilai perilaku yang terkait dengan kesusilaan, kesopanan, atau kebaikan, ukuran dan sumber normanya variatif: norma agama, norma hukum, norma budaya (adat istiadat atau tradisi), dan lain-lain yang dipandang sebagai norma yang baik.

Menurut Poespoprodjo (1998) moralitas itu kesusilaan, kesopanan yaitu kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas dibedakan menjadi 2: moralitas objektif dan moralitas subjektif. Moralitas objektif memandang perbuatan semata sebagai suatu perbuatan yang telah dikerjakan bebas lepas dari pengaruh sukarela pihak pelaku. Moralitas subjektif memandang perbuatan sebagai perbuatan yang dipengaruhi pengertian dan persetujuan si pelaku sebagai individu, dikondisikan oleh faktor-faktor pribadi, terkait dengan pertanyaan apakah perbuatan itu sesuai atau tidak dengan “kata hati” atau hati nurani si pelaku. Hati nurani (Latin: conscientia; Inggris: conscience; Belanda: geweten) yang secara metaforis berarti suara Tuhan atau kodrat manusia.



[1] Dipresentasikan dalam Forum Diskusi Dosen Fakultas Agama Islam Unissula Semarang, Hari Kamis, Tanggal 18 April 2003

[2] Penulis adalah Dosen Fakultas Agama Is lam Unissula Semarang

Tidak ada komentar: