Sistem Penilaian Hasil Belajar Dalam KBK[1]
Ahmad Rohani HM[2]
Aspek Penilaian dalam Pembelajaran
Penilaian merupakan terjemahan dari assessment yaitu kegiatan untuk memperoleh informasi tentang pencapaian kompetensi dan kemajuan belajar mahasiswa (kelompok atau individu), dan mengefektifkan penggunaan informasi tersebut untuk mencapai tujuan pendidikan. Berbeda dengan penilaian, evaluation adalah kegiatan yang dirancang untuk mengukur efektivitas sistem pendidikan secara keseluruhan. Sebagian ahli mengatakan, evaluasi itu kegiatan penilaian yang bersifat luas, menyeluruh.
Dalam PPRI no. 19/2005 tentang Sisdiknas pasal 1 dinyatakan: Penilaian adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik. Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan. (lihat juga pasal 1 ayat 21 UURI no 20/2003).
Penilaian Berbasis Kelas (PBK) merupakan bagian dari penilaian pendidikan secara keseluruhan. PBK lebih dekat konotasinya dengan assessment dari pada evaluation. Dalam sistem pembelajaran (perkuliahan), penilaian (PBK) menempati posisi yang sama pentingnya dengan perencanaan maupun kegiatan pembelajaran. Dengan kata lain, penilaian menjadi salah satu faktor dalam sistem pembelajaran. Hasil penilaian harus dapat dijadikan informasi yang reliable, valid dan accountable terhadap stakeholders. Berkaitan dengan hal ini, artikel ini ditulis dalam rangka membantu pembaca terutama dosen untuk memahami lebih jauh mengenai sistem penilaian khususnya sistem penilaian dalam konteks KBK.
Penilaian sebagai Subsistem KBK
Pemikiran Behaviorisme dalam psikologi telah sedemikian mengakar hingga merambah ke dunia pendidikan sejak abad 20 hingga abad 21 sekarang ini. Tes objektif sebagai teknik atau alat penilaian yang digunakan untuk mengukur hasil belajar mastery learning dan mastery testing, merupakan bukti nyata dari pengaruh pemikiran behavioristik. Dalam perkembangannya hingga sekarang tes standar (standardized testing) dikembangkan dari tes objektif yang behavioristik itu, bukan hanya di sekolah dan lembaga pendidikan melainkan telah menjadi bagian dari industri pendidikan[3].
Gagasan KBK (Competency-Based Curriculum, Competency-Based Learning) tak lain juga merupakan kebijakan yang dipengaruhi (disadari atau tak disadari) oleh pemikiran behavioritik. Tetapi, KBK (dikenal dengan Kurikulum 2004)[4] ini telah menjadi kebijakan Pendidikan Nasional di era reformasi yang harus diterima. KBK merupakan salah satu hasil reformasi Pendidikan Nasional di sektor kurikulum. Ia lahir mengiringi kelahiran UURI no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam KBK penilaian merupakan salah satu subsistem. Menyusul pemberlakuan Sisdiknas dan KBK selanjutnya diterbitkan PPRI no 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Kebijakan nasional[5] ini, menuntut para praktisi pendidikan di tanah air untuk bekerja ekstra keras, serta menyikapinya secara positif, tanpa harus berpretensi negatif. Semua itu dimaksudkan untuk memajukan Pendidikan Nasional Indonesia dari ketertinggalan yang sedemikian jauh dibandingkan dengan negara-negara lain.
Penilaian Hasil Belajar dalam Perpektif KBK
Dalam perspektif KBK, penilaian hasil belajar peserta didik disebut dengan Penilaian Berbasis Kelas (PBK) yaitu, perangkat yang memuat prinsip, sasaran dan pelaksanaan penilaian berkelanjutan yang lebih akurat dan konsisten sebagai akuntabilitas publik melalui identifikasi kompetensi / hasil belajar yang telah dicapai, pernyataan yang jelas tentang standar yang harus dan telah dicapai serta peta kemajuan belajar mahasiswa. Disebut PBK karena penilaian ini dilaksanakan secara terpadu dengan KBM[6]. Acuan penilaian PBK lebih cocok dengan penilaian acuan patokan (PAP) sesuai dengan prinsip mastery learning, daripada acuan penilaian norma (PAN).
Asesmen Alternatif: Penilaian Berorientasi Proses Sekaligus Hasil
PBK perlu mengembangkan asesmen alternatif sebagai upaya memperbaiki dan melengkapi tes standar, sehingga penilaian hasil belajar tidak hanya berhubungan dengan hasil akhir (end product) tetapi yang lebih penting ia merupakan bagian yang penting dalam proses pembelajaran. Atkin, Black, & Coffey[7] yang adalah sebagai anggota Committee Classsroom Assessment and the National Science Education Standards, menjelaskan bahwa asesmen alternatif diharapkan akan memberi kontribusi yang berarti pada perbaikan proses pendidikan (perkuliahan) di dalam kelas. Asesmen alternatif tidak dimaksudkan sebagai pengganti tes baku ataupun tes buatan dosen. Asesmen alternatif diharapkan membantu kelemahan-kelemahan teknik tes seperti menginvasi mahasiswa, menimbulkan rasa cemas berlebihan, mengkategori mahasiswa secara berlebihan, menghukum mahasiswa yang kreatif, atau mendiskriminasi mahasiswa dari golongan minoritas[8]. Kelemahan-kelemahan ini terjadi karena tes dirancang dan dilaksanakan sebagai kegiatan “rahasia” yang sama sekali tidak mengikutsertakan peserta didik. Tes dianggap sebagai kegiatan institusi atau kegiatan dosen yang menjadi hak penuh lembaga atau dosen yang berangkutan. Peserta didik dianggap sebagai objek dalam pelaksanaan tes. Asesmen alternatif juga dimaksudkan untuk membantu dosen dalam mengefektifkan proses pembelajaran atau perkuliahan.
Sehubungan dengan hal di atas, untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi (tagihan) mahasiswa, dalam PBK dikembangkan teknik dan jenis penilaian yang disebut asesmen alternatif, yaitu:
1. pengumpulan kerja mahasiswa (portfolio)[9],
2. hasil karya mahasiswa (product)[10],
3. penugasan (project)[11],
4. kinerja, unjuk kerja mahasiswa (performance)[12].
Oleh Puckett & Black[13] keempat jenis penilaian itu (4P: portofolio, produk, proyek, dan performansi) disebut sebagai authentic assessment yang merupakan jenis atau strategi penilaian informal, sementara tes standar disebut sebagai penilaian formal. Wick (1987) dalam School-Based Evaluation mengatakan, asesmen otentik dapat dilakukan dengan metode observasi, simulasi, tugas, praktek, swalapor, dan sebagainya. Arends[14] menjelaskan, asesmen otentik itu sebagai proses asesmen performansi siswa (mahasiswa) dalam melaksanakan tugas-tugas tertentu dalam situasi nyata. Sementara, McTighe[15] menjelaskan asesmen otentik mencari dan mengumpulkan serta mensintesis informasi kemampuan siswa (mahasiswa) dalam memahami dan menerapkan pengetahuan serta keterampilan proses dalam situasi nyata. Ada yang mengatakan, bahwa asesmen otentik sebagai metode asesmen alternatif atau asesmen lembar kerja yang merupakan upaya untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk asesmen yang lebih bermakna. Dengan demikian, fokus asesmen menjadi bergeser, dari orientasi mendapatkan nilai melalui menjawab soal (orientasi hasil), ke aktivitas untuk menunjukkan apa yang diketahui dan apa yang dapat dilakukan (orientasi proses dan hasil), dan ini merupakan pembekalan kecakapan hidup. Menurut, hemat saya, asesmen alternatif (asemen otentik) sejalan dengan Konstruktivisme dan Humanisme, daripada sekedar Behaviorisme.
Perguruan tinggi adalah lembaga pendidikan formal. Karena itu image yang selama ini berkembang, segalanya serba formal., termasuk sistem penilaiannya. Sehingga penilaian dengan teknik tes yang merupakan penilaian formal dianggap sebagai paling tepat. Menyadari akan hal ini, dalam PBK, kiranya masih dimungkinkan pula mengembangkan sistem penilaian formal yang berupa tes, sebagai variasi dari asesmen alternatif. Kebanyakan tes dilakukan secara tertulis, dalam PBK tes tertulis disebut dengan paper and pensil[16], apakah berupa menggambar, tes bentuk uraian atau objektif (harian, mid, atau akhir semester), kuis (pre test). Dapat juga tes bentuk lisan. Tetapi, perlu disadari, tes hanya menilai pengetahuan kinerja (knowledge of performance).
Yang perlu di pahami, apapun teknik dan jenis penilaian (asesmen) yang digunakan, penggunaannya tergantung pada sasaran yang hendak dinilai: kognitif, afektif, atau psikomotorik. Ketiga sasaran penilaian ini hendaknya dijangkau secara utuh dengan teknik penilaian yang sesuai. Kita harus berani mengembangkan sasaran penilaian yang lebih luas. Jangan hanya berkutat pada domain kognitif. Ingat! Banyak hasil penelitian menunjukkan: efektivitas pencapaian hasil kognitif terjadi sejalan dengan efektivitas pencapaian ranah afektif. Siswa yang memiliki prestasi akademik yang baik (kognitif) pada umumnya juga memiliki motivasi belajar yang tinggi dan sikap yang positif terhadap pelajaran (afektif). Sekitar 25 % varian hasil belajar kognitif disumbangkan oleh karakteristik afektif yang dimiliki individu siswa pada awal pembelajaran (Pan Samon, 2006, dan Benjamin S. Bloom, George F. Madaus & Thomas Hastings, 1981 dalam pidato pengukuhan Guru Besar Prof. Ibnu Hadjar: 2006; 4).
Semoga bermanfaat!
Referensi
Arends., R.I. (1997). Classroom instruction and management. New York: McGrawHill.
Atkin, J.Myron., Black, Paul., and Coffey, Janet. (Eds.). (2001). Classroom assesment and the national science education standards. Washington, DC: National Academy Press.
Beattie, Donna Kay. (1994). "The mini-portfolio: locus of a ssuccessful performance examination." Art Education V. 47, No. 2, Maret 1994, hlm. 14-18.
Belanoff, Pat and Dickson, Marcia. (1991). Portfolios: process and product. Porsmouth: Boynton/Cook Publishers.
Boediono. (2002). Penilaian berbasis kelas. Jakarta: Balitbang Depdiknas.
Gitomer, Drew, Scott Grosh, dan Karen Price. (1992). "Portfolio culture in arts education." Art Education V. 45, No. 1, Januari 1992, hlm. 7-15.
HM., Ahmad Rohani. (2000). Media instruksional edukatif. Cet. I. Jakarta: Rineka Cipta.
-------------------------. (2004). Pengelolaan pengajaran. Cet. II. Jakarta: Rineka Cipta.
-------------------------. (2004). Pengembangan teknik evaluasi dalam sistem penilaian hasil belajar non kognitif. Makalah dalam Lokakarya Pengembangan Sistem Penilaian Hasil Belajar Non Kognitif, diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Pendidikan Keislaman dan Sosial (LeKDiS) Nusantara bekerjasama dengan Direktorat Mapenda Depag RI, tanggal 29 September s/d 02 Oktober 2004, di Asrama Haji Balikpapan Kalimantan Tengah
-------------------------. (2005). Pengembangan sistem evaluasi. Makalah dalam Pelatihan Instrukional Dosen Muda UNISSULA Semarang, Selasa, 25 Oktober 2005.
-------------------------. (2003). Pendidikan nilai dan evaluasinya dalam perspektif Sisdiknas. Makalah dalam Seminar Pendidikan Nilai Dalam Sisdiknas Tinjauan Proses dan Evaluasinya diselenggarakan oleh Fakultas Agama Islam Universitas Islam Sultan Agung Semarang Tanggal 07 Agustus 2003.
------------------------. (2003). Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) dan penilaian berbasis kelas (PBK). Makalah dalam Penataran “Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi” pada Para Guru SDI Terpadu Harapan Bunda Semarang.
-----------------------. (2003). Identifikasi nilai-nilai moral individual dan kolektif pada anak usia remaja (poskonvensional) fungsi schooling dan learning society. Makalah dalam Forum Diskusi Dosen Fakultas Agama Islam Unissula Semarang, Hari Kamis, Tanggal 18 April 2003.
----------------------. (2003). Peran guru dalam kbk dan pengembangan portofolio. Bahan kuliah mata kuliah Pengembangan Sistem Evaluasi.
---------------------. (2005). Pengembangan sistem evaluasi. Makalah disampaikan dalam Pelatihan Instruksional Dosen Muda UNISSULA Semarang, Selasa, 25 Oktober 2005
Kartono ST, (2002). Mengembangkan kurikulum berbasis kompetensi. Forum Otonomi Pendidikan. Kompas, Jumat, 26 April 2002.
McTighe, J and Ferrara. (1995). Assesssing learning in the classroom. Http://www.md.net./assessment/authenticassessment.html.
Nitko, A.J. (1994). Educational assessment of students. New Jersey: Prentice Hall Englewood Cliffs.
Puckett, Margaret B. & Black, Janet K. (1994). Authentic assessment of the young child: celebrating development & learning. New York: McMillan College Publihing Company.
Sax. Gilbert. (1980). Principle of educational and psychological meassurement and evaluation. California: Wadworth Publishing Company.
Shaw, Marvin E. & Wright, Jack M. (1967). Scales for the meaurement of attitudes. New York: McGraw-Hill Book Company.
Suyanto. (1991). Elaborasi aspek afektif untuk kegiatan belajar mengajar. Artikel dalam Cakrawala Pendidikan No 2, Tahun X, juni 11991. Yogyakarta.
Suryanto. (2001). Aspek afektif hasil pembelajaran matematika. Paedagogia Jurnal penelitian Pendidikan Jilid 4 Nomor 1 Tahun 2001 FKIP UNS Surakarta
Salam, Sofyan. (2001). Penilaian portfolio dalam pendidikan seni rupa: landasan dan model. Pusat Statistik Pendidikan, Balitbang - Depdiknas
Tim Peneliti Program Pascasarjana UNY. (2001). Pedoman khusus pengembangan sistem pengujian.
Tim Penyaji. (2003). Penilaian. Materi Workshop GPAI SD Propinsi Jateng, Semarang: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jateng.
Zainul, Asmawi. (2004). Asesmen alternatif untuk mendukung belajar dan pembelajaran. Makalah Seminar Rekayasa Sistem Penilaian dalam rangka Meningkatkan Kuaalitas pendidikan. Tanggal 26-27 Maret 2004 Yogyakarta: HEPI.
Zimmerman, Enid. (1992). “Assessing student’s progress and achievements in Art”. Art Education V. 45 no. 6, November 1992, hlm. 14-24.
[1] Ditulis untuk Majalah Ilmiah Al Fikri FAI UNISSULA
[2] Pengampu Mata Kuliah Pengembangan Sistem Evaluasi jurusan Tarbiyah FAI UNISSULA
[3] Asmawi Zainul. 2004. Asesmen alternatif untuk mendukung belajar dan pembelajaran. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Rekayasa Sistem Penilaian dalam rangka Meningkatkan Kualitas Pendidikan. Diselenggarakan HEPI. Tanggal 26-27 Maret 2004. Yogyakarta.
[4] Mungkin tahun akademik 2006/2007 akan lahir kebijakan baru tentang kurikulum, Kurikulum 2006, sekalipun kemungkinan substansinya akan sama.
[5] Sejak era reformasi, telah terjadi reformasi besar-besaran di bidang pendidikan, hasilnya antara lain SPN beserta implikasinya antara lain SNP, KBK, UURI no. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, Sertifikasi Kompetensi, dan lain-lain.
[6] Balitbang Depdiknas RI (2002).
[7] J.Myron Atkin, Paul Black, and Janet Coffey (Eds.). 2001. Classroom assesment and the national science education standards. Washington, DC: National Academy Press.
[8] Gilbert Sax. 1980. Principle of educational and psychological meassurement and evaluation. California: Wadworth Publishing Company.
[9] Portofolio didefinisikan oleh Ford dan Larkin sebagai sampel dari karya-karya jadi yang dipilih oleh mahasiswa bagi keperluan penilaian hasil belajar (Belanof dan Dickson, 1991:155). Enid Zimmerman (1992:17) mendefinisikan portofolio secara lebih komprehensif dan terinci sebagai koleksi tertentu dari karya-karya mahasiswa baik dalam bentuk karya proses maupun karya jadi, dalam berbagai bidang, di mana mahasiswa terlibat dalam melaksanakan penilaian terhadap dirinya sendiri yakni dalam memilih isi portofolionya dan dalam mengembangkan kriteria untuk menilai perkembangan dan hasil belajarnya. Kumpulan karya mahasiswa yang tersusun pada portofolio bisa dihasilkan dalam kurun waktu tertentu. Ada pula portofolio yang hanya meliputi karya-karya yang diciptakan dalam waktu yang relatif singkat misalnya berkisar 4 hingga 6 minggu. Donna Kay Beattie (1994:14) menyebut portofolio semacam ini sebagai "portfolio-mini" (diadaptasi dari Pranowo, 2003).
Sebagai alat penilaian, portofolio dapat digunakan untuk menilai ranah kognitif, afektif, maupun psikomotor, tergantung kemauan dosen. Penilaian portofolio pada dasarnya adalah menilai karya-karya mahasiswa berkaitan dengan mata kuliah tertentu. Semua tugas yang dikerjakan mahasiswa dikumpulkan untuk dinilai. Dalam menilai dilakukan diskusi antara mahasiswa dan dosen untuk menentukan skornya. Prinsip penilaian portofolio adalah mahasiswa dapat melakukan penilaian sendiri kemudian hasilnya di bahas.
Kegiatan penilaian portofolio berkisar pada: (1) pemberian umpan-balik kepada mahasiswa dalam rangka pengembangan portofolionya; (2) penilaian yang bersifat membandingkan kualitas portofolio antara seorang mahasiswa dengan mahasiswa lainnya; (3) penilaian yang dimaksudkan, untuk menentukan tingkat prestasi mahasiswa dengan membandingkan antara portofolio yang dihasilkannya dengan kompetensi dasar yang telah ditetapkan sebelumnya; serta (4) penilaian atas kemajuan mahasiswa dengan membandingkan antara keadaan mahasiswa pada masa sebelum dan sesudah kegiatan pembelajaran berlangsung. Menurut Sofyan Salam (2001) dalam Pranowo (2003), penilaian portofolio dilakukan melalui 3 tahap: orientasi, penilaian formatif, dan penilaian sumatif.
[10] Penilaian berdasar hasil yang dibuat oleh mahasiswa, biasanya dalam teknologi dan seni, atau keterampilan. Fokusnya pada proses produksi atau kualitas produk. Fase menghasilkan produk melalui persiapan, produksi, dan penilaian.
[11] Penilaian beberapa karya mahasiswa dalam satu kurun waktu tertentu. Mahasiswa melakukan investigasi melalui pengumpulan, pengorganisasian, evaluasi dan presentasi.
[12] Dilakukan ketika mahasiswa terlibat dalam suatu kegiatan, menyangkut unjuk kerja, perilaku atau interaksi mahasiswa dalam suatu lingkungan atau tempat tertentu. Unjuk kerja dapat dinilai secara holistik, atau secara parsial (analitik)
[13] Margaret B. Puckett & Janet K. Black. 1994. Authentic assessment of the young child: celebrating development & learning. New York: McMillan College Publihing Company.
[14] R.I. Arends. 1997. Classroom instruction and management. New York: McGrawHill.
[15] J and Ferrara McTighe. 1995. Assesssing learning in the classroom. Http://www.md.net /asssessment/authenticassessment.html.
[16] Penilaian ini umumnya masih digunakan oleh banyak lembaga pendidikan secara konvensional. Padahal, tes tertulis (kertas-pulpen) dewasa ini sudah dilakukan secara lebih maju lagi dengan melibatkan teknologi komputer. Masih sedikit lembaga pendidikan yang mengembangkan penilaian model ini dengan melibatkan teknologi modern. Yang konvensional pun, hingga kini masih dilakukan tidak profesional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar