Senin, 04 Mei 2009

PENGEMBANGAN TEKNIK EVALUASI

DALAM SISTEM PENILAIAN HASIL BELAJAR NON KOGNITIF[1]




Ahmad Rohani HM.[2]

Pengantar

Evaluation is a systematic process of collecting and analyzing data in order to determine wether, and to what degree, objectives have been or are being achived. Evaluasi merupakan proses (kegiatan) sistematik melalui pengumpulan dan analisis data (pengukuran) guna menentukan tingkat ketercapaian tujuan (penilaian). Jadi kegiatan evaluasi melibatkan kegiatan mengukur dan menilai. Kegiatan mengukur sebagai kegiatan pemerolehan informasi melalui prosedur tertentu. Hasil pengukuran bersifat kuantitatif. Sementara kegiatan menilai berusaha mengetahui tingkat ketercapaian suatu program kegiatan atau tujuan, sifatnya kualitatif dengan (lazimnya) mendasarkan pada hasil pengukuran. Dalam pengertian sehari-hari, evaluasi (evaluation) dikonotasikan sebagai penilaian, meskipun evaluasi itu sebenarnya cakupan pengertiannya lebih luas dari penilaian.

Dalam perspektif Bloom, et al (1976), luasan hasil belajar siswa dikelompokkan menjadi 3 yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Implikasinya, evaluasi belajar siswa seharusnya meliputi ketiga ranah dimaksud. Menurut Djemari Mardapi (2000), evaluasi belajar juga harus mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik perkembangan dan kemajuan tingkat belajar siswa. Dengan demikian, hasil evaluasi dapat memberikan informasi yang komprehensif, utuh, dan terpadu mengenai kegiatan belajar dalam rentang waktu tertentu, apakah yang formatif atau sumatif. Sejalan dengan hal ini, pembelajaran dan evaluasi hasil belajar mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah harus menekankan keutuhan dan keterpaduan antara ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik (Ditjen Dikdasmen, 2003). Evaluasi kognitif siswa telah banyak dilakukan oleh guru, tidak terkecuali guru pendidikan agama Islam (GPAI). Meskipun relatif, umumnya GPAI telah memiliki kompetensi (kecakapan) dalam mengevaluasi kognitif siswa misalnya melalui ulangan harian, testing atau ujian, dan sebagainya. Sementara, evaluasi hasil belajar siswa yang non kognitif (afektif dan psikomotor) relatif masih sangat kurang diperhatikan dan dilakukan oleh GPAI, baik di SD, SMP maupun, SMA/SMK. Hal ini wajar karena, selama ini GPAI begitu enjoy mengabdikan dirinya pada pembelajaran kognitif. Hanya sedikit waktu GPAI mengelaborasi dimensi non kognitif. Pengabaian dimensi non kognitif, baik dalam pembelajaran maupun dalam sistem evaluasinya tentu merugikan individu siswa maupun masyarakat. Berangkat dari uraian di atas, menjadi urgen untuk meningkatkan kompetensi GPAI dalam mengevaluasi hasil belajar non kognitif siswa.

Dalam era KBK dewasa ini, setiap guru (GPAI) dituntut untuk memiliki standar kompetensi yang meliputi 3 komponen: pengelolaan pembelajaran, pengembangan potensi, dan penguasaan akademik. Dalam kompetensi pengelolaan pembelajaran terdapat 4 komponen 2 di antaranya adalah penilaian prestasi belajar peserta didik, dan pelaksanaan tindak lanjut hasil penilaian prestasi belajar peserta didik (Direktorat Tenaga Kependidikan Dikdasmen, 2003: 8-20). Jika dijabarkan lebih jauh, kedua komponen kompetensi ini menuntut guru menguasai evaluasi hasil belajar siswa yang meliputi: menguasai konsep evaluasi belajar, memilih dan mengembangkan metode/teknik evaluasi yang sesuai dengan tujuan belajar, mengembangkan instrumen dan alat evaluasi belajar, melaksanakan evaluasi belajar sesuai rancangannya, serta mampu menganalisis hasil evaluasi untuk kepentingan peningkatan mutu proses belajar mengajar (Ditjen Dikdasmen, 2003). Jenis penilaian hasil belajar siswa di sekolah dapat berupa penilaian kelas atau ujian. Kedua jenis ini harus meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Fungsi penilaian kelas bisa formatif, sumatif, maupun diagnostik (Pasal 3 dan 6 SK Mendiknas RI no. 012/U/2002).

Kesempatan yang terbatas dalam lokakarya ini, penulis mencoba memaparkan secara konseptual pengembangan teknik evaluasi hasil belajar non kognitif (afektif dan psikomotor).

Evaluasi ranah afektif

Hingga dewasa ini, ranah afektif merupakan kawasan pendidikan yang masih sulit untuk digarap secara operasional. David Krathwohl beserta para koleganya yang adalah para pakar dengan reputasi akademik memadai pun mengeluh betapa sulit mengembangkan kawasan afektif terutama jika dibandingkan dengan kawasan kognitif. Kawasan afektif seringkali tumpang tindih dengan kawasan kognitif dan psikomotorik. Teoretik kita bisa membedakannya, praktiknya tidak demikian.

Afek merupakan karakteristik atau unsur afektif yang diukur, ia bisa berupa minat, sikap, motivasi, konsep diri, nilai, apresiasi, dan sebagainya. Afek merupakan traits psikologik yang tidak dapat diamati secara langsung. Kita hanya dapat “memotretnya” melalui perilaku wujud, apakah perkataan atau perbuatan. Kemunculan perilaku ini bisa menunjukkan 3 kecenderungan atau “arah” (Anderson, 1981): positif, netral, atau negatif. Selain memiliki arah, afek juga memiliki “intensitas”, artinya perilaku yang dinyatakan dalam tujuan atau kompetensi afektif haruslah yang mempunyai kemungkinan tinggi (high probability behavior). Pengukuran afek harus pula menyediakan pernyataan “kondisi” dalam kompetensi atau tujuannya, yang menunjukkan terjadinya perilaku yaitu berupa sejumlah preferensi atau pilihan yang disediakan bagi siswa. Siswa bebas memilih. Juga mengandung pernyataan “kriteria”, apakah kriteria yang terkait dengan jumlah subjek atau jumlah kegiatan/perilaku.

Struktur ranah afektif sebagaimana dikembangkan Krathwohl et al (1964) cukup rumit. Artinya struktur afektif ini unsur-unsurnya cukup kompleks.

Tidak semua karakteristik afektif harus dievaluasi di sekolah. Beberapa karakteristik afektif yang perlu diperhatikan (diukur dan dinilai) terkait dengan mata pelajaran PAI di sekolah adalah sikap, minat, konsep diri, dan nilai (Dikdasmen, 2003). Sikap berhubungan dengan intensitas perasaan positif atau negatif terhadap suatu objek psikologik (misal kegiatan pembelajaran, atau mata pelajaran). Minat berhubungan dengan keingintahuan seseorang tentang keadaan suatu objek psikologik, atau pilihan terhadap suatu kegiatan. Konsep diri berhubungan dengan pernyataan sendiri tentang keadaan diri sendiri, tentang kemampuan diri terkait objek psikologiknya. Nilai berhubungan dengan keyakinan seseorang tentang keadaan suatu objek atau kegiatan. Teknik pengukuran afektif dapat dilakukan dengan berbagai ragam misal: (1) skala bertingkat (rating scale; suatu nilai yang berbentuk angka terhadap suatu hasil pertimbangan; (2) angket (questionaire; sebuah daftar pertanyaan yang harus diisi oleh siswa); (3) swalapor (berupa sejumlah pernyataan yang menggambarkan respon diri terhadap sesuatu); (4) wawancara (interview; tanya jawab atau dialog untuk menggali informasi terkait dengan afek tertentu); (5) inventori bisa disebut juga sebagai interviu tertulis. Dilihat dari banyaknya jajaran kalimat yang isinya hanya perlu di dijawab dengan tanda check, inventori dapat disebut checklist (menandai), daftar atau inventarisasi pribadi, dan lain-lain alat atau teknik nontes.

Masalahnya adalah, bagaimana mengembangkan instrumen pengukuran afektif yang bermutu sebagai dasar penilaian afektif yang bermutu pula sehingga evaluasi efektif dapat berfungsi sebagai salah satu alat penjamin mutu pendidikan di sekolah sekaligus sebagai alat penjamin mutu guru. Penilaian afektif berguna antara lain untuk bahan pembinaan bagi siswa dalam usaha meningkatkan penguasaan kompetensinya dan masukan untuk memperbaiki kualitas proses pembelajaran.

Secara umum, pengembangan alat evaluasi atau instrumen afektif menuntut beberapa langkah: membuat definisi konseptual, membuat definisi operasional, menentukan metode pengukuran atau skala pengukuran, analisis instrumen. Langkah-langkah ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

(1) membuat definisi konseptual, dalam hal ini kita perlu memahami konstrak (construct) teoretik;

(2) membuat definisi operasional, di dalamnya kita menentukan domain atau indikator, serta menentukan objek psikologiknya, untuk kemudian dibuat kisi-kisi, serta membuat butir-butir pernyataan;

(3) menentukan metode pengukuran atau penskalaan, untuk mengukur sikap misalnya ada 3 metode utama yaitu : judgment method, response method, kombinasi kedua metode yakni judgment and response methods;

(4) analisis instrumen, hal ini dilakukan setelah kita melakukan ujicoba pengukuran, hasilnya kemudian dianalisis baik per butir maupun keseluruhan butir.

Sementara Sutrisno Hadi (1991), secara lebih sederhana menjelaskan 3 langkah pokok dalam menyusun instrumen: (1) mendefinisikan konstrak; (2) menyidik faktor (identifikasi faktor atau dimensi); (3) menyusun butir-butir pernyataan. Apabila ketiga langkah itu telah dilakukan, selanjutnya dilakukan ujicoba atau pelaksanaan pengukuran itu sendiri, kemudian hasilnya diuji atau dianalisis: (1) uji keandalan antar rater (hanya jika konstrak yang diukur dikerjakan melalui rating atau penilaian panelis); (2) uji kesahihan butir; (3) uji keandalan butir; (4) uji kesahihan faktor.

Secara rinci, dalam buku Kurikulum 2004 SMA Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran PAI (2003) dijelaskan, terdapat 8 langkah dalam membuat instrumen sikap dan minat:

(1) memilih ranah (karakteristik) afektif yang akan dinilai, misal minat siswa terhadap mata pelajaran PAI;

(2) menentukan indikator, misal indikator minat siswa terhadap mapel PAI meliputi kehadiran di kelas, banyak bertanya, mengumpulkan tugas tepat waktu;

(3) memilih tipe skala yang digunakan (metode dan tingkat skala pengukuran);

(4) menelaah instrumen dengan teman sejawat (validasi, judgment);

(5) memperbaiki instrumen;

(6) menyiapkan inventori laporan diri;

(7) menentukan skor inventori; dan membuat hasil analisis inventori. Catatan; mestinya sebelum langkah keempat dilakukan pembuatan butir-butir intrumen.

Selanjutnya dijelaskan, sebelum instrumen digunakan perlu dianalisis. Ada 2 model analisis instrumen:

(1) analisis kualitatif (analisis non statistik, validasi isi instrumen);

(2) analisis kuantitatif, analisis statistik setelah dilakukan terlebih dahulu ujicoba. Tujuan analisis ini untuk mengetahui karakteristik (butir-butir) instrumen. Kita bisa menggunakan jasa program (software) komputer, dengan Anabut SPS, dengan MicroCat atau Iteman, atau dengan program lain.

Untuk menghasilkan instrumen yang baik, analisis instrumen hendaknya dilakukan secara kualitatif atau validasi non statistik (content validity), dan analisis kuantitatif (analisis butir, analisis reliabilitas dan validitas terutama construct validity).

Evaluasi ranah psikomotor

Istilah psychomotor, psikomotor terkait dengan kata motor, sensory-motor, atau perceptual-motor. Ranah psikomotor erat kaitannya dengan kerja otot yang menjadi penggerak tubuh dan bagian-bagiannya, mulai dari gerak yang paling sederhana seperti gerakan-gerakan dalam shalat sampai dengan gerakan-gerakan yang kompleks seperti gerakan-gerakan dalam praktik manasik ibadah haji. Ada beda makna antara skills (keterampilan) dan abilities (kemampuan). Keterampilan lebih terkait dengan psikomotor, sedangkan kemampuan terkait dengan kognitif selain pikomotor itu sendiri.

Taksonomi dalam ranah psikomotor dirumuskan oleh Anita J. Harrow (1976). Menurutnya, ada 6 tingkat klasifikasi dalam ranah psikomotor yaitu :

(1) Reflex Movements (gerakan refleks), yakni respons gerakan yang tak disadari yang dimiliki individu sejak lahir, mencakup : refleks segmental, refleks intersegmental, dan refleks suprasegmental. Ketiga refleks ini terkait dengan gerakan-gerakan yang dikoordinasikan oleh otak dan bagian-bagian sumsum tulang belakang.

(2) Basic-Fundamental Movements (basik gerakan dasar), yaitu gerakan-gerakan yang menuntut kepada keterampilan yang kompleks sifatnya, meliputi : gerakan lokomotor (gerakan yang mendahului kemampuan berjalan seperti tengkurap, merangkak, memanjat); gerakan nonlokomotor (gerakan dinamik dalam suatu ruangan yang bertumpu pada suatu sumbu tertentu); gerakan manipulatif (gerakan yang terkoordinasikan seperti gerakan dalam ibadah shalat).

(3) Perseptual Abilities (kombinasi dari kemampuan kognitif dan gerakan) meliputi : diskriminasi kinestetik (menyadari akan gerakan tubuh seseorang)

- kesadaran bodi (menyadari gerakan pada dua sisi tubuh, satu sisi tubuh, keseimbangan atau keberatsebelahan);

- imej bodi (perasaan adanya gerakan yang terkait dengan badannya sendiri);

- hubungan bodi dengan lingkungan sekitar (arah dan kesadaran badan kaitannya dengan lingkungan ruang sekitar);

diskriminasi visual :

- kemampuan membedakan bentuk dan bagian

- kemampuan mengikuti objek

- mengingat pengalaman visual

- membedakan figur yang dominan di antara latar belakang yang kabur

- konsistenssi, pengenalan konsep viual;

(4) Physical Abilities (kemampuan yang diperlukan untuk mengembangkan gerakan-gerakan keterampilan tingkat tinggi, meliputi ketahanan, kekuatan, kellenturan, kecerdasan otak (agility) atau kemampuan untuk bergerak cepat.

(5) Skilled Movements (gerakan yang memerlukan belajar) misal keterampilan menakar atau menimbang beras zakat fitrah, meliputi keterampilan adaptasi terkait dengan basik gerakan dasar; keterampilan adaptasi kombinasi misal menggunakan peralatan tertentu; keterampilan adaptasi kompleks seperti menguasai mekanime seluruh tubuh dalam gerakan-gerakan shalat;

(6) Non-Discursive Communication (kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan gerakan), meliputi : gerakan ekspresif; gerakan interpretif seperti gerakan dalam seni dan kreatif (improvisasi).

Sementara taxonomi psikomotor versi Simpson mencakup 7 kategori : (1) Perception (persepsi) mencakup kemampuan mengadakan diskriminasi yang tepat antara dua atau lebih perangsang menurut ciri-ciri fisiknya; (2) Set (kesiapan) yakni menempatkan diri dalam keadaan akan memulai suatu gerakan; (3) Guided Response (gerakan terbimbing) yaitu kemampuan untuk melakukan serangkaian gerak sesuai contoh; (4) Mechanical Response (gerakan terbiasa) berupa kemampuan melakukan gerakan dengan lancar karena latihan cukup; (5) Compex Response (gerakan kompleks) mencakup kemampuan melaksanakan keterampilan yang meliputi beberapa komponen dengan lancar, tepat, urut, dan efisien; (6) Adjusment (penyeuaian pola gerakan) yaitu kemampuan mengadakan perubahan dan penyesuaian pola gerakan seuai kondisi yang dihadapi; (7) Creativity (kreativitas) yang berupa kemampuan untuk menciptakan pola gerakan baru berdasarkan inisiatif dan prakarsa sendiri.

Pengukuran karakteristik (gerak) dalam ranah psikomotor dilakukan terhadap proses maupun hasil belajar yang berupa tampilan perilaku atau kinerja. Dalam hal ini kita bisa menggunakan kriteria atau prinsip-prinsip : kecermatan, inderawi, kreatif, efektif. Menurut Antony J. Nitko (1994) untuk mengukur gerak motorik ada dua pendekatan: (1) pengamatan dan pengukuran pada saat proses berlangsung; (2) pengamatan dan pengukuran pada hasil dari gerakan motorik. Pendekatan pengukuran proses memerlukan kecermatan dan konsentrasi serta waktu yang relatif lama. Sementara pengukuran dengan pendekatan hasil relatif lebih mudah mengamatinya. Pengukuran karakteristik psikomotor yang baik adalah menggunakan dua pendekatan tersebut.

Pengukuran karakteristik psikomotor dapat menggunakan beraneka model instrumen, misal: (1) Checklist (menandai); (2) Identification Test (tes identifikasi; (3) Ranking (urutan); (4) Numerical Scales (skala angka); (5) Graphic Rating Scales (skala rating grafik). Kesemua model ini menggunakan pendekatan observasi (pengamatan). Pengamatan terhadap karakteristik psikomotor dilakukan dalam upaya untuk menemukan kesesuaian teori (materi belajar yang pernah dipelajari) dan tampilan atau kinerja yang dapat ditunjukkan oleh siswa.

Guru yang melakukan pengukuran karakteristik psikomotor siswa dengan menggunakan tes tindakan perlu memahami 4 hal : kecepatan, kecermatan, gerak dan waktu, serta ketahanan dan kemampuan fisik. Keempat hal ini masing-masing dapat dijabarkan ke dalam 4 jenis tes yaitu : tes kecepatan, tes kecermatan, tes gerak dan waktu, serta tes ketahanan dan kemampuan fisik.

Pengukuran karakteristik psikomotor dengan menggunakan tes tindakan perlu ditempuh dengan serangkaian langkah sebagai berikut : (1) identifikasi gerak motorik yang dikehendaki berdasarkan kompetensi dasar yang relevan, untuk hal ini perlu dibuat kisi-kisi; (2) tentukan apakah proses atau hasil yang hendak diukur; (3) membuat butir-butir tes beserta kunci jawaban (poin-poin atau rambu-rambu jawaban); (4) tentukan skala pengukurannya, cara penskorannya; (5) lakukan validasi isi tes; (6) revisi berdasarkan hasil validasi; (7) sebelum digunakan, sebaiknya diujicoba kemudian dianalisis; (8) revisi berdasar hasil ujicoba dan analisis; (9) hasil tes siap digunakan.

Penilaian berbasis Kelas (PBK) dalam Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi atau KBK mengisyaratkan bahwa untuk menilai ranah psikomotor digunakan penilaian unjuk kerja/kinerja (performance), atau jenis lain yaitu penilaian proyek, portofolio, dan penilaian produk. Penilaian unjuk kerja dapat dilakukan dengan pengamatan. Untuk ini guru perlu menyiapkan lembar pengamatan secara baik. Lembar pengamatan yang baik setidaknya mencakup : (1) kemampuan atau karakteristik psikomotor apa yang dinilai; (2) indikator-indikator pada setiap aspek kemampuannya jelas; (3) masing-masing indikator memiliki deskriptor (dengan menggunakan skala bertingkat) yang jelas; (4) serta penilaian atau penskoran akhir harus jelas pula. Lembar pengamatan yang baik perlu dilakukan validasi isi, ujicoba dan analisis (konkordansi antar rater, reliabilitas, dan validitas).

Pemilihan dan penggunaan jenis-jenis penilaian psikomotor tergantung pada kebutuhan. Yang terpenting, apapun jenis penilaian (pengukuran) yang digunakan, dalam perspektif PBK, dan proses penilaian perlu mendasarkan pemahaman pada tata urut rumusan yang telah digariskan dalam pengembangan silabus dan sistem penilaian, yaitu dimulai dari identifikasi, standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok dan uraiannnya, pengalaman belajar, indikator, dan penilaian itu sendiri. Dengan demikian logika penilaiannya dapat ditelusuri dengan jelas.

Penutup

Bahwa paparan di atas sifatnya konseptual dan lebih berupa pengantar. Audiens (GPAI) diharapkan melakukan pemahaman dan pencermatan lebih jauh melalui daftar referensi yang penulis sertakan berikut. Agar para GPAI benar-benar kompeten dalam melakukan penilaian non kognitif, penulis merekomendasikan : (1) manfaatkan KKG dan MGMP sebagai wadah peningkatan kompetensi penilaian terutama penilaian non kognitif; (2) banyaklah melakukan latihan mengembangkan instrumen nonkognitif secara berkelompok; (3) untuk keperluan itu, sisihkan waktu misalnya dua minggu sekali.

Smoga sukses dan bermanfaat…!

Referensi

Anderson, L.W. (1980). Assessing affective characteristics in the schools. Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Arikunto, Suharsimi. 1989). Dasar-dasar evaluasi pendidikan. Cet. V. Jakarta: Bina Aksara.

Azwar, Saifuddin. (1988). Sikap manusia teori dan pengukurannya. Yogyakarta: Liberty.

Bloom, Bejamin S. , et al. (Editor) (1974). Taxonomy of educational objectives handbook I cognitive domain. Eighteenth Printing. New York: David McKay Company, Inc.

Depdiknas. (2003). Kurikulum 2004 standar kompetensi mata pelajaran pendidikan agama Islam sekolah dasar dan ibtidaiyah. Jakarta: Puskur, Balitbang Depdiknas.

Dikdasmen, Diknas. (2003). Modul pembinaan profesi guru. Jakarta: Proyek Peningkatan Mutu SLTP.

---------------------. (2003). Standar kompetensi guru sekolah dasar. Jakarta: Direktorat Tenaga Kependidikan.

---------------------. (2003). Kompeteni guru sekolah lanjutan tingkat pertama (bahan rujukan pelatihan terintegrasi berbasis kompetensi). Jakarta: Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama.

Dikmenum Diknas. (2003). Kurikulum 2004 SMA pedoman khuus pengembangan silabus dan penilaian mata pelajaran pendidikan agama Islam, Buku 7.1.Jakarta.

Ditjen Dikdasmen, Depdikbud. (1999/2000). Silabi dan deskripsi program penataran guru sekolah dasar. Jakarta: Bagian Proyek Pengendalian Lembaga Penataran.

Fernandes, H.J.X. (1983). Affective domain assessment in perspective. Jakarta: Office of Educational and Cultural Research and Development Ministry of Education and Culture.

------------------. (1984). Testing and measurement. Jakarta: Office of Educational and Cultural Research and Development Ministry of Education and Culture.

Gable, R.K. (1986). Instrument development in the affective domain. Boston: Kluwer-Nijhoff Publishing.

Hadi, utrisno. (1991). Analisis butir untuk instrumen angket, tes, dan kala nilai denga basica. Yogyakarta: Andi Offset.

Harrow, Anita J. (1976). A taxonomy of the psychomotor domain a guide for developing behavioral objectives. New York: Longman.

HM., Ahmad Rohani. (2004). Pengelolaan pengajaran. Cet. II. Jakarta: Rineka Cipta.

Joesmana. (1988). Pengukuran dan evaluasi dalam pengajaran. Jakarta: Depdikbud.

Lee, B.N. and Merill, M.D. (1972). Writing complete affective objectives. California: Wardsworth Publishing Company, Inc.

Nitko, A.J. (1994). Educational assessment of students. New Jersey: Prentice Hall Englewood Cliffs.

Shaw, Marvin E. & Wright, Jack M. (1967). Scales for the meaurement of attitudes. New York: McGraw-Hill Book Company.

Suyanto. (19911). Elaborasi aspek afektif untuk kegiatan belajar mengajar. Artikel dalam Cakrawala Pendidikan No 2, Tahun X, juni 11991. Yogyakarta.

Suryanto. (2001). Aspek afektif hasil pembelajaran matematika. Paedagogia Jurnal penelitian Pendidikan Jilid 4 Nomor 1 Tahun 2001 FKIP UNS Surakarta

Zainul, Asmawi. (2004). Asesmen alternatif untuk mendukung belajar dan pembelajaran. Makalah Seminar Rekayasa Sistem Penilaian dalam rangka Meningkatkan Kuaalitas pendidikan. Tanggal 26-27 Maret 2004 Yogyakarta: HEPI.

Zuchdi, Darmiyati. (2000). Evaluasi belajar afektif. Makalah disajikan dalam Pelatihan Program Applied Approach (Rekonstruksi Mata Kuliah) Dosen UPN Veteran Yogyakarta.



[1] Makalah dipresentasikan dalam Lokakarya Pengembangan Sistem Penilaian Hasil Belajar Non Kognitif, diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Pendidikan Keislaman dan Sosial (LeKDiS) Nusantara bekerjasama dengan Direktorat Mapenda Depag RI, tanggal 29 September s/d 02 Oktober 2004, di Asrama Haji Balikpapan Kalimantan Tengah.

[2] Staff Pengajar Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang, Kandidat Doktor Universitas Negeri Yogyakarta Prodi PEP Konsentrasi Metodologi Evaluasi, Kini sedang meneliti dalam rangka penulisan Disertasi: Pengembangan Kompetensi GPAI dalam Evaluasi Belajar Afektif.

Tidak ada komentar: